Sian menceritakan semua padaku. Piromania Iris kambuh saat aku berada di masa lalu, terlebih pintu dapur tak terkunci. Sian sungguh membantu, saat ini dia berada di halaman belakang bersama Iris, menepati janji pertunjukan atraksi api keempat kalinya usai istirahat beberapa menit..
Aku sudah membujuk Iris agar dia mau membiarkan Sian pulang, sedangkan pertunjukannya bisa esok hari. Namun, dia terus bersikeras. Akhirnya kubiarkan saja karena Sian juga tak keberatan.
Hari-hari lain, dua makhluk penghuni bawah tanah ini pergi sesaat setelah penjelajahan masa lalu usai, kali ini keduanya bertahan di rumahku. Tak masalah jika Sian, tetapi beda halnya dengan pemuda menyebalkan satu ini.
“Kamu bilang bisa menjamin gak ada orang lain yang bakal mengetahui kehadiran kalian?” Aku melirik Flin sinis.
Flin berdehem. Membuang muka dariku.
Aku terpaksa berbohong pada Iris bahwa Flin adalah temanku, sedangkan Sian adiknya. Meski tak benar-benar ingin merahasiakan, kupikir lebih baik Iris tak tahu tentang Kerajaan Buana Rubanah, Portal Titian, dan penjelajahan masa lalu.
“Kita harus milih waktu yang tepat kalo mau balik ke Kerajaan Hirap lagi. Aku gak mau cuma diam aja ngawasin orang-orang kerja.”
Aku memajukan bibir, tahu lagak Flin mengalihkan pembicaraan. Ngomong-ngomong soal itu, aku terpikir segala hal yang kutemui di masa lalu. “Dia dipojokan oleh beberapa-beberapa orang … Putri Geya.”
Flin menoleh padaku, meminta obrolan serius.
“Kulihat ada lima. Yang tiga, mantan prajurit Kerajaan Hirap. Sisanya rakyat yang memberontak.” Aku agak menunduk. “Kamu bener, Flin. Putri Geya tertekan … karena hal itu.”
Flin memandangku lekat sesaat, kemudian mengalihkan perhatian. “Akhirnya kamu tahu apa yang perlu dilakukan.”
“Juga,” lanjutku, agak memotong ucapan Flin, “aku lihat seseorang.” Pandangan beralih sepenuhnya pada Flin. “Buku Hirap cuma nulis dua putri, ‘kan? Nyatanya ada satu orang lagi, Putri Geya manggil dia Kangmas Pramana … putra tertua Raja Ganendra, seorang putra mahkota … yang disembunyikan.”
Flin terkejut. “Gak kusangka banyak yang ditutupi.” Dia mengerutkan alis memikirkan sesuatu. “Kalo gitu, kita ada kesempatan mengubah masa lalu, terutama terkait Putra Mahkota Pramana karena dia gak tertulis di buku sejarah.”
“Gak bisa!” ujarku tegas. Kemudian membuang tatapan ke segala arah. Menggeleng kecil. Perih di dada menjalar lagi. “Kamu tahu, dia persis kayak Mas Adly. Wajah, suara, sampai aura …. Aku pengen menebus rindu dengan memeluknya, tapi ….”
Aku tak sanggup melanjutkan kata-kata. Mengingat kembali Putra Mahkota Pramana membuatku goyah. Sementara jika aku terus memaksa tujuan ini lurus, akan ada sanubari yang diikat kian kencang oleh rantai duri paksaan.
Aku memiliki seseorang di depan mata. Bisa berlari padanya, melepas pikiran keruh oleh berbagai hal rumit. Namun, aku tak boleh.
Ini memperparah keadaan. Masih lebih baik aku tak melihat Putra Mahkota Pramana dan hanya berangan-angan tentang Mas Adly beserta teladannya.
Aku menghela napas berat. “Dari awal seharusnya aku sadar. Putri Geya dan Putri Paramitadewi bereinkarnasi menjadi kami. Kalo ada Mas Adly, seharusnya di masa lalu, dua putri itu juga punya kakak.”
“Putra Mahkota Pramana …,” Flin melanjutkan kata-kataku. Kemudian menjelaskan opini-opininya, tetapi aku tak mendengar.
Isi kepala berkecamuk. Aku larut terlalu dalam bersama angan lama, sampai kapan pun tak akan bisa berenang ke permukaan. Lebih tepatnya, aku yang memilih diam di antara kenangan, tanpa pernah mencoba lari.
Aku terlalu berfokus pada Mas Adly. Berharap masih bisa mengandalkannya, padahal mustahil.
“Semua gak bakal kayak gini kalo ada Mas Adly. Dia bisa ngatasi banyak hal, piromania, agnosia visual. Bahkan ketika aku ikut emosi pas Papa marah-marah, Mas Adly bisa bikin aku tenang lagi.”
“Lalu, kenapa gak minta bantuan dia? Kan bisa—”
“Mas Adly tiada,” ujarku lirih.
Meski tak menatapnya sempurna, aku tahu Flin mendadak bungkam—sebelumnya terlihat ingin mengomel. Beberapa saat dia menjadi lebih pendiam, tidak berkomentar panjang-lebar seperti biasa.
Flin berdehem, lantas bangkit. “Pangeran Sian! Kita pulang sekarang!”