Sinkronisasi Jiwa

Adinda Amalia
Chapter #20

15 || Sangria


Salah besar bila aku hanya memikirkan tujuan, sedangkan ancaman dilupakan begitu saja. Gang kecil ini memang menjadi jalan pintas, tetapi bahayanya jauh lebih besar dibandingkan melewati jalan utama.

“Sendirian, Neng?” Salah seorang pria bicara.

Aku hanya memandangnya, tak berani menjawab.

“Serahkan semua!” Si pria berbadan paling besar menggertak. “Sepeda motor! HP! Perhiasan kalo ada! Dompet! Semua!”

“Ogah kali, ya …,” aku bergumam. Namun, sepertinya mereka mendengar karena ekspresi pria-pria itu langsung berubah kesal.

“Banyak omong kamu!” pria lain berteriak.

Gelegar suara menghentak batin terdalam. Sekujur tubuh bergetar sesaat. Kemudian aku meringkuh. Detak jantung meninggi seketika, dalam hening terdengar jelas. Aku dibuat kikuk. Mental terpojok.

Kata-kata sebelumnya spontan keluar dari mulutku begitu saja. Aku tak bisa mengendalikan diri bila berada di depan orang-orang seperti mereka. Namun, jika disuruh maju, tentu saja aku tak berani.

“Kita masih baik-baik nih!”

Aku terdiam. Menunduk. Seolah seperti mangsa mungil di depan gerombolan predator.

Bukan seharusnya seperti ini terus-menerus, aku harus menyusun kata-kata. Dari segi fisik, siapa yang bilang aku akan menang. Jalan terakhir, silat lidah.

Jemari menggenggam erat, reaksi alami ketika otak kupaksa bekerja. Sialnya, kali ini isi kepala sulit sekali diajak kompromi. Bahkan sekadar mengucap sepatah kata, bibir kelu.

“Pilihannya gini, Neng, kalo gak mau dan gak ada apa-apa yang bisa dikasih ke kami, masih ada dirimu.” Senyum aneh mengembang di wajah pria berbadan paling besar.

Dia berusaha menggapai daguku—seperti sikap buaya darat lain—tetapi aku langsung menampar tangannya. “Jangan bercanda!” Kubuat ekspresi garang di tengah takut. “Aku gak bakal ngasih apa pun!”

Para pria itu tertawa. “Ya udah kalo gitu, kita paksa!”

Mereka melakukan peregangan jari dan leher, seperti di film-film dan ini bukan pertanda baik. Aku melirik kanan-kiri. Barangkali ada gang sempit atau benda untuk melawan dan bertahan diri.

Sayang, aku tak menemukan apa pun. Sementara pria-pria ini memamerkan senyum mengerikan kian lebar.

Napasku berangsur berantakan. Pria-pria itu sedikit demi sedikit mendekat. Udara sekitar menjadi panas. Aura pekat memancar mereka, seakan peringatan akhir bagiku. 

Aku tak menemukan ide kabur sama sekali.

Aku terjebak!

Jantungku hampir melompat saat salah satu pria meraih kepala sepeda motor kasar. Aku menelan ludah payah. Keringat mengucur dari pelipis. Suhu badanku meninggi.

Sorot tajamnya menusuk raga. “Turun!”

Aku memberanikan diri buka suara. “Gak mau! Aku—”

Pria lain yang berada tepat di sebelah, mendadak menarik lenganku. Tak bisa melawan, aku terpaksa turun dan menjauh dari sepeda motor. Aku bergegas mendekat. “Itu motorku!”

Kali ini dia mendorong kencang hingga memaksaku mundur beberapa kali. Aku tersentak. Gemuruh dada dalam memintaku lari, sayangnya kaki tak berdaya. Mendapat perlakuan kasar bukan kebiasaan—di rumah ada Papa yang pemarah, tetapi dia tak main fisik.

Kemungkinan-kemungkinan buruk menerobos pikiran. Aku membencinya. Suara membentak, paksaan, rasa sakit, kehilangan. Aku merasa hal tersebut akan segera terjadi. Kepala bak diikat kuat, dada sesak bukan main.

Air mata nyaris berjatuhan saat mendadak gang kecil berubah kosong. Dinding bangunan di sekitar penuh warna abu-abu. Aku tak menemukan orang lain di sekitar. Tanpa benda berserakan. Sungguh bersih.

Aku tahu agnosia visual kambuh. Hal ini selalu berhasil membuat diriku perlahan tenang, pikiran rileks. Namun, sekarang bukan saat tepat. Aku ingat pasti gerombolan pria berjajar di depan.

Aku harus segera menyadarkan diri atau mereka akan leluasa berbuat buruk padaku. Masih mending jika hanya mengambil barang berharga, bagaimana bila aku justru diculik, lantas dijual entah ke mana?

Samar-samar terdengar suara para pria itu kian gencar memaksaku memberikan semua harta yang kubawa. Mereka lantang, tetapi terdengar lirih seolah aku berada di dalam air.

Parahnya lagi, tubuhku menolak segala macam perintah otak untuk bergerak.

Ini gawat! Padahal di sana ada ….

Pikiranku kosong beberapa saat.

Lihat selengkapnya