Pintu setinggi tiga meter diketuk, menimbulkan bunyi menggema sepanjang lorong lebar. “Pangeran Sian, Adipati Wilis ngasih beberapa kue! Boleh aku masuk untuk menyampaikan amanah ini?”
“Mana kue punyaku?” Seruan kencang Pangeran Sian dari dalam ruang bukan lagi samar-samar terdengar.
“Permisi!” Aku mendorong pintu menggunakan satu tangan selagi lainnya sibuk memegang loyang berisi semangkuk kue dengan asap tipis mengepul dan aroma semerbak menggoda perut.
Ruangan penuh pesawat kertas membuatku mematung sesaat setelah menutup pintu kembali. Pangeran Sian di tengah-tengahnya, bergegas berlari dan mengambil mangkuk. Lalu membawa ke tempat semula. “Terima kasih, Flin.”
Aku menghela. Bukan satu atau dua kali Pangeran Sian mengacau di ruangan pribadinya. Kerap kuingatkan, tetap tiada hasil. Ujung-ujungnya, Adipati Wilis yang memerintahku membersihkan.
“Pangeran Sian gak bermain di halaman Istana Kerajaan sama para saudara bangsawan?” Aku meletakkan loyang di atas meja. Duduk di kursi tak jauh, seraya memandang keluar jendela besar yang hanya terhalang lapisan gorden tipis.
“Matahari buatan di luar sedang terik, aku malas.” Pangeran Sian melahap kue sambil melempar pesawat kertas sehingga terbang dan kebetulan—atau mungkin disengaja—menabrak kepalaku.
Tanganku menadah agar pesawat kertas tak jatuh ke lantai, kemudian meremas kuat-kuat. Seiring bunyi khas terdengar kian nyaring, benda itu sudah tak karuan bentuk lagi. Aku tak bisa memprotes tindakan Pangeran Sian barusan karena itu termasuk lancang. Yang benar adalah mengingatkan, tetapi terlanjur malas melakukannya.
Perhatian tak sengaja beralih ke meja tempatku menyimpan loyang. Sedikit terkejut. “Pangeran Sian nyimpan Jangka Tumpu, Panji, dan Buku Hirap di sini?” Aku menyahut lagi usai dia mengangguk, “Gak ada tempat yang lebih aman?”
Pangeran Sian mengangkat alis. “Kurasa gak ada ancaman.”
Aku tak menyangkal. Hanya saja, kupikir dia meletakkan benda-benda itu di dalam lemari berkunci, brankas kerajaan, atau sejenisnya. Yah, memang tak ada lagi tanda bahaya terhadap Kerajaan Buana Rubaah usai peperangan kilat dengan Kerajaan Antaraloka dulu.
Aku menyambar cepat Buku Hirap. Mengangkat sedikit, asal membuka dan membiarkan tiap halaman tersibak jatuh satu persatu hingga buku menutup kembali. Tiba-tiba sesuatu terasa mengganjal, aku memeriksa sekali lagi lembar kedua setelah sampul.
“Cetakan pertama, 1943. Cetakan kedua—terjemahan, 1944.” Aku meneliti sekali lagi. “Tiap cetakan cuma menghasilkan satu eksemplar. Menarik.” Menutup buku kencang-kencang, menimbulkan bunyi khas. Lantas bangkit. “Pangeran Sian, aku pamit pergi ke perpustakaan.”
“Rasanya kamu dengerin ucapanku kemarin.” Aku menyusul seorang gadis yang telah lebih dulu berdiam diri di trotoar sebelah pegangan besi jembatan, tak jauh dari gerbang perumahan.
Tersisa jingga membalut bumi, memancar pekat dari ujung barat. Bukan terik lagi terasa, tak heran bila gadis itu betah bertahan di sini. Aku menyandar pegangan jembatan. “Keluar malam itu bahaya.”