Suara televisi terdengar hingga ruang tamu. Tak banyak kegiatan kami di akhir pekan. Iris menikmati tayangan hewan-hewan liar, sedangkan aku memanfaatkan waktu senggang sebaik mungkin.
Pasalnya, di hari kerja hampir tiada ampun. Bangun pagi-pagi, membuat sarapan, mandi, ganti baju, berangkat sekolah, pulang ketika sore hari, membersihkan rumah, menyiapkan sekaligus makan malam, kemudian mengerjakan tugas. Belum lagi bila aku harus menjelajah masa lalu bersama Flin.
Ingin rebahan saja hampir tak ada waktu.
“Kak Sangria, nanti temen Iris datang!”
“Ngapain?” Aku tak mengalihkan perhatian dari ponsel.
“Kerja kelompok!”
Aku bergumam, mengiyakan. Berselang sebentar, sesuatu terbersit. “Iris sekelompok sama Eboni?”
“Iya!”
“Baguslah.” Eboni mendekati sempurna sebagai seorang pemimpin. Dia menggiring dan senantiasa menjaga orang lain agar tak salah jalan. Jadi, mana mungkin aku menolak keberadaannya di dekat Iris?
Bicara soal Iris, aku selalu teringat piromania, termasuk cara menyembuhkan. Putri Geya kuncinya, tekanan mental tak boleh memperpanjang masa singgah. Namun, sampai saat ini, aku benar-benar tahu apa yang harus dilakukan.
Thalia kemarin menjelaskan tentang terapi perilaku kognitif, salah satunya. Aku bukan lulusan psikolog, mustahil memahami apalagi bisa mempraktikkannya.
Kedua, ada obat-obatan penenang. Seperti yang pernah kubilang, aku tak berani mengambil risiko dengan asal membeli dan memberinya pada Putri Geya. Dibutuhkan konsultasi dan resep psikiater lebih dulu.
Aku menghela napas. Tak ada kemajuan. Aku masih tak tahu mau berbuat apa terkait mengurangi tekanan mental Putri Geya.
Bel rumah berbunyi.
Teman-teman Iris pasti akan bertahan berjam-jam di sini. Tak ada salahnya aku menyiap beberapa camilan untuk mereka
Sesaat setelah membuka pintu, aku terbelalak. Perkiraanku meleset. “Kalian?”
“Halo!” Sian menyeru gembira.
Aku memandang paras imut Sian, setengah tak percaya mendapati kemunculan mereka tiba-tiba. Bergeser ke Flin—ekspresinya tak enak dipandang, aku malas memperhatikan lebih lama—lantas beralih ke segala arah. “Agnosia visual kambuh?”
Flin mendecak. Dia tak menyukai candaanku.
“Gini,” bergegas aku menatap kembali, “kenapa kalian lewat pintu depan? Seolah-olah tamu? Padahal biasanya asal nyerobot! Tiba-tiba ada di gudang!”
Sian mengangkat bahu. “Kenapa harus datang diam-diam? Kita gak perlu menyembunyikan kehadiran lagi, ‘kan? Iris udah tahu tentang kami.”
Emosiku terpancing. “Gimana kalo Papa tahu?”
“Santai aja—”
“Apanya coba?” Aku menaikkan nada bicara. “Papa nyerahin semuanya ke aku! Setelah kasus kebakarnya lab kimia SMP kemarin, Papa gak mau denger macem-macem! Kalo Papa tahu aku bawa cowok ke rumah ….” Sengaja kujeda, sudah jelas bagaimana akhirnya.
Sian mencibir. Dia pasti tak sepenuhnya mendengarku. “Papa kalian jarang pulang, ‘kan?”
Aku mendengus. “Tapi tetep aja—”
“Gak apa-apa.” Sian santai seperti di puncak gunung—pantai sudah mainstream.
Aku memandangnya beberapa saat. Sebelum akhirnya menyerah. Menghela napas guna menenangkan amarah. Memikirkan ucapan Sian. “Bener sih.”
Sudut bibir Sian terangkat tinggi.
Ide lain melintas. Berganti ke Flin, raut sengaja dibuat sebal. Lalu, menggodanya dengan senyuman. Kutiru logat pemuda menyebalkan itu dulu, “Aku menagih kata-katamu tadi—”
“Kita harus menjelajah masa lalu sekarang!” Flin sok bergegas.
Aku tahu, dia malu mengetahui ucapannya sendiri terbukti salah. Dia entengnya berkata bahwa tidak ada seorang pun yang akan mengetahui keberadaan mereka, nyatanya Sian menampakkan diri di depan Iris.
Kau harus mengunyah jantung sendiri, Flin!
Flin membuang muka. Pupilnya bergerak-gerak cepat. “Ke … ketahuan bukan jadi masalah—”
“Temen-temen cepet banget!” Seruan Iris terdengar kian kencang. Dia berlari dari ruang tengah kemari. Langkah tiba-tiba berhenti. Terkejut mendapati siapa gerangan di ambang pintu. “Sian! Kamu datang?”
Sian sumringah, persis anak kecil. Mengangguk mantap.