Putri Geya amat berterima kasih hari lalu ketika aku membelanya dari orang-orang yang mencari Jenawi Raja, entah apalah itu. Aku melakukan hal serupa kali ini, tetapi mengapa reaksinya berbeda?
Putri Geya agak menjauh. Dia duduk di sisi lain dinding, mendekap diri sendiri. Bola matanya enggan menyapaku, justru memilih permukaan lantai yang seakan lebih baik dan menjanjikan. “Mbakyu tak selalu ada. Tak selalu melindungi saya.”
Aku bungkam seketika. Bukan waktu lama berada di masa lalu, sebagian besar hari-hari Putri Geya dihabiskan bersama Putri Paramitadewi—sungguhan, bukan aku. Terdapat kemungkinan, tindakan kami tak bersesuaian.
Aku mendekat sedikit padanya. “Maaf, Adikku.”
Putri Geya menggeser posisi duduk. Dia menghindar.
Aku menunduk sesaat, berusaha terkesan menyesal. “Saya minta maaf, Adikku.”
Putri Geya tak mau mendengar.
“Adikku.”
Dia masih diam.
“Adikku Geya.” Bicaraku melembut. Dia akhirnya menurut saat kudekati sekali lagi. “Tiada seorang pun sempurna. Saya tak bisa setiap saat melindungimu.” Sudut bibirku terangkat tipis. “Tapi, saya akan berusaha sebaik mungkin.”
Putri Geya perlahan memandangku. Maniknya berkilauan oleh air mata yang mendobrak sedikit demi sedikit.
Muncul kode-kode alami dari Putri Geya, aku tanggap memeluknya. “Maaf, Adikku.”
Putri Geya tak memberontak sama sekali. Air mata jatuh juga, membasahi pipi. Isak tangis lirih terdengar, lalu berangsur kencang. Biar dia meluapkan segenap perasaan agar sanubari longgar. Lupa akan para mantan prajurit dan pemuda-pemuda yang selalu membuatnya bergidik ngeri.
Aku ingat Iris pernah menangis seperti itu, ketika masih kecil. Rasanya bangga sekali karena dia tak melakukan hal serupa usai beranjak remaja. Kehidupan sekolah mana mungkin tanpa halangan, tetapi Iris menghadapi baik-baik.
Iris, gadis tangguh. Tak adil melihat piromania hinggap karena kehidupan keras Putri Geya. Aku tak menyalahkannya, justru berusaha memperhatikan mereka sebisa mungkin. Keduanya sama-sama adikku.
Aku tak boleh gagal. Demi Putri Geya dan Iris pula.
Aku tak ingin Iris menangis layaknya Putri Geya saat ini, apabila suatu saat piromania memburuk sampai menyakiti orang lain. Itu bukan keinginannya, tetapi Iris tetap akan disalahkan.
Aku harus cepat, sebelum hal seperti itu terjadi.
Perlakukan hampir sama, pun kuberikan pada Putri Geya. Menepuk-nepuk punggung, membelai surai lembut, dan berbisik pelan. Sama seperti aku menenangkan si kecil Iris dulu.
Sudah cukup tenang, aku melepas pelukan dari Putri Geya. Dua tangan ini berganti memegang lengan atasnya. Senyumku mengembang. “Adikku Geya, mau melakukan sesuatu yang menyenangkan, kegiatan favoritmu?”
Aku mencoba mengalihkan perhatian Putri Geya sampai suasana hatinya benar-benar membaik. Entah apa kegiatan favoritnya—mana mungkin aku tahu, di Buku Hirap juga tak tertulis—sengaja berkata begitu guna memancing dia bicara sendiri.
Sumringah hadir secepat kilat di paras Putri Geya. “Memanah? Ayo!”