Aku duduk bersila di depan bekas tancapan Jangka Tumpu. Sementara benda ukuran satu meter berlapis perak mengkilap, tergeletak tak jauh. Sebaiknya aku siap dua puluh empat jam, Flin dan Sangria bisa kembali kapan saja.
Sayup-sayup terdengar para remaja SMP berpamitan pulang, kerja kelompok telah usai, dan mereka sudah cukup banyak mengobrol. Kediaman luas Sangria tak memungkinkan manusia biasa mendengar percakapan di ruang tamu dari gudang. Namun, aku berbeda.
Suara mereka kian lirih. Deru mesin kendaraan menyala terdengar. Kemudian pembicaraan usai dan gemuruh sepeda motor berangsur menjauh hingga tak tersisa lagi.
Perasaanku tak enak saat celotehan Iris—dia seharusnya ada di rumah—justru nihil. Aku khawatir peristiwa hari lalu terulang atau hak buruk lain. Terlebih, dia tak mencari, padahal aku jelas-jelas belum izin pulang.
Daripada curiga terus-menerus, aku meninggalkan ruangan beserta Jangka Tumpu dan lainnya. Aku tetap bisa mendengar Flin meminta dibukakan Portal Titian kembali, tetapi risiko akan butuh lebih waktu lebih karena aku harus lari terlebih dahulu menuju gudang.
Aku menengok halaman belakang rumah, kosong. Di dapur, tak ada orang. Terus berjalan mengitari sisi lebih dalam. “Iris!” Kutemukan dia di ruang tengah, sibuk memeriksa lemari besar. “Kamu ngapain?”
“Api ….” Iris tak menoleh padaku.
Seketika aku menggenggam erat. Hampir sama, sesuatu seperti ini terjadi ketika Iris sedang berada di masa lalu. Aku tak sepenuhnya siap mengatasi dan bertanggung jawab. Namun, di sisi lain, Iris tak boleh dibiarkan begitu saja. “Ayo ke halaman belakang! Lihat pertunjukan atraksi api!”
“Iris bukan mau lihat api.” Dia membuka pintu-pintu serta tiap petak lemari. “Iris mau bikin api!”
“Apinya nanti dibikin apa, emang? Bahaya tahu!” Aku berusaha tegas, walau tahu hasilnya berbanding terbalik.
“Iris mau bikin api yang cantik!” Di berpindah ke rak-rak kecil di sebelah. “Iris bikin sendiri!”
“Enggak ….” Aku mengerang gusar. “Itu bahaya! Jangan, Iris!”
Mendadak dia menoleh, membuatku tersentak. “Kamu ngomong apa sih, Sian? Api itu cantik! Makanya Iris mau bikin!”
Sekian detik aku memandang Iris lekat. Heran akan jalan pikirannya, juga keputusan mempersingkat jarak seperti saat ini.
Aku, Sian, seorang pangeran. Tak bisa diremehkan!
“Baiklah!” Aku memasang wajah menantang. “Iris mau nyalain api, ‘kan? Boleh! … Tapi,” bergegas melanjutkan kalimat atau dia terlampau girang lebih dulu, “tunggu bentar dan janji gak menyentuh apa pun selagi aku pergi nyari sesuatu! Paham?”
Senyum Iris mengembang lebar. Dia mengangguk sambil menunjukkan kelingking.
Aku memantapkan diri, lantas meraih jari mungilnya menggunakan kelingking pula.
Kemungkinan sembilan puluh persen gagal. Ide ini melintas di otak, lalu kupakai begitu saja tanpa berpikir dua kali. Iris ingin menyalakan api dengan tangannya sendiri. Maka karena itu, aku perlu menemukan sesuatu yang bisa dibakar dan tidak berisiko tinggi.
Kembang api.
Benda seperti itu berlimpah di Buana Rubanah, tetapi aku tak memiliki banyak waktu. Ada sejuta pertanyaan dilempar sebelum bisa membelinya di kerajaan bawah tanah kami. Jangan merasa heran, lain tempat, berbeda peraturan pula.
Pilihan terakhir, aku harus mendapatkannya di permukaan bumi. Flin pernah bercerita, bila tidak di hari-hari tertentu, penjual kembang api sulit ditemukan. Sialnya, kurasa sekarang bukan salah satu hari tertentu yang dimaksud.
Aku berhenti sejenak, memandang kanan-kiri. Deretan bangunan, puluhan gang, pepohonan menghias, semuanya persis. Berkeliling di perumahan membuatku nyaris gila. Seperti labirin.
Bola mataku membulat begitu tujuh anak kecil lelaki melintas, membawa kembang api sparkles. “Hei!” Aku berhasil menghentikan mereka. “Kalian punya banyak, ‘kan? Boleh minta sebagian?”
Si anak paling depan yang membawa kembang api paling banyak, memandangku dari atas ke bawah. Ekspresi sok tingginya menimbulkan reaksi serupa Sangria—ketika Flin bicara panjang lebar—dariku. “Enak aja!”
Aku mencibir. “Beriin doang apa susahnya!”
“Beli sendiri apa susahnya?” Dia tiba-tiba ngegas, padahal aku bicara baik-baik.
Dadaku memanas, tak tertahan lagi. “Aku udah keliling perumahan! Gak nemu toko yang jual! Kalian dapat dari mana coba?”
Bocah lelaki menjengkelkan itu menyembunyikan kembang api sparkles-nya di samping badan. “Dapat dari Papi! Papi beli di mall!” Dia menatapku geram. “Kalo Abang mau, beli dari kita deh.”
Aku terdiam sejenak, mengerutkan alis. “Maksudmu, kalo aku bayar, kalian mau ngasihin?”
Dia mengiyakan lantang.