Kami sampai di Istana Kerajaan Hirap belum lama. Ria langsung pergi tanpa sepatah kata. Dasar! Padahal dulu dia menggelisahiku saat pertama kali kemari karena belum tahu apa-apa.
Kulihat sekilas dia melewati lorong utama istana, pasti hendak menemui Putri Geya. Sementara aku memutar, memilih koridor di tepi istana. Jendela-jendela besar menderet, perlu sedikit membungkuk agar prajurit KNIL lain di luar tak menyadari keberadaanku.
Aku kembali ke sisi belakang istana, layaknya penjelajahan masa lalu ketiga—sebelumnya. Mendekati ruang santai keluarga kerajaan, langkah kian cepat. Belum sempat menyentuh knop, tersentak oleh gadis pelayan istana yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang.
Dia mematung seketika, sama-sama terkejut. Memang keberadaan prajurit KNIL di dalam sini jarang terjadi dan sepertinya bukan pertanda baik bagi mereka. “Mi … mijnheer?”
Aku berdehem. Memasang wajah kejam. “Saya sedang memeriksa. Di dalam istana ternyata masih sangat kondusif. Goed!”
“Dank u ….” Dia mengangguk kecil beberapa saat. Kemudian agak menyodorkan loyang berisi gelas-gelas kecil minuman. “Silakan bila Anda berkenan, Mijnheer.”
“Graag gedaan.” Aku mengambil salah satu gelas dengan senang hati. Menghabiskan dalam sekali tegak, lantas kukembalikan ke loyang.
Gadis pelayan istana mengangguk pelan. “Saya permisi.”
Aku memandangnya hingga sepenuhnya hilang di balik koridor. Lantas menghela kesal seraya membuang muka. “Apa yang diminum sama orang-orang masa ini? Gak paham lagi sama selera mereka!”
Sensasi sepat di lidah merambat hingga raut wajahku. Sial! Paras menawan kesatria Buana Rubanah ini terpaksa memasang ekspresi tak enak dipandang.
Aku mendengus. Ada-ada saja yang menghambat. Mengapa juga prajurit KNIL hanya diperintah berjaga di luar istana? Akibatnya, aku kesulitan mengeksplor, sedangkan Pedang Safir kemungkinan tinggi berada di dalam istana.
Aku memperhatikan sekitar, tiada seseorang sama sekali. Artinya, aman memasuki ruang santai keluarga kerajaan tanpa diketahui siapa saja maupun timbul kecurigaan.
Sesaat setelah memegang knop pintu, mendadak lompatan waktu terjadi. Aku hanya bisa melihat Hanson meninggalkan istana, menuju gerbang depan. Beberapa kali mengobrol dengan prajurit KNIL lain, lalu memasuki bekas aula Kerajaan Hirap di seberang jalan.
Kilasan-kilasan cepat selanjutnya tak memberiku banyak petunjuk. Para Belanda berkumpul. Mereka saling berbicara, sesekali tertawa, terkadang serius. Aku tak mendengar sedikit suara pun sehingga mustahil mengetahui apa yang terjadi.
Lompatan waktu selesai. Aku mengambil napas berat, kemudian tersengal-sengal. Barusan, jiwaku bak dihantam kencang ke tubuh Hanson agar kesadaran pulih. Perlahan tenang, aku memastikan sekitar.
Belanda tak asing, Mayjen Bernandus duduk di depan ujung meja. “Hanson, ben je oke?”
Aku mengangguk-angguk. Kemudian menata raut serius.
“Kita perlu membahas sesuatu yang sangat penting!” Mayjen memandang anak buahnya satu per satu.
Termasuk aku, ada delapan orang berjajar di depan meja kayu panjang. Jumlah sama, berhadap dengan kami. Semua berseragam ala prajurit KNIL, hanya beberapa badge dan aksesoris membedakan.
“Rakyat semakin merepotkan akhir-akhir. Bahkan mempertegas kebijakan kerja paksa tak membuat mereka patuh!” Mayjen Bernandus memijit-mijit dahi. “Bagaimana menurutmu, Letkol Heinrich?”
Aku menggeser pandangan menuju prajurit KNIlL di tepi kanan depan. Dia duduk menyandar, melipat tangan di depan dada. “Itulah mengapa kita perlu melakukan hal lain!”
“Het is slecht!” Prajurit lain memukul meja keras-keras. Dari perawakannya, seperti bukan petinggi. “Rakyat tak peduli dibentak! Mereka beraninya menyetor hasil kerja buruk! Siapa juga yang mau mendapat batu mulia cacat!”
“Ke mana batu mulia yang bagus?” Belanda lain menyahut. Dia tenang nan dingin.
“Er is geen!” Si prajurit mengangkat dua tangan ke atas lebar-lebar, lalu dijatuhkan ke meja. “Rakyat sengaja menghancurkan semua! Dibuat cacat!”
“Kau mengawasi rakyat, bukan?” Mayjen Bernandus agak memotong pembicaraan anak buahnya. “Hanson.”
Aku terdiam, tak menunjukkan reaksi apa pun. Yakin tatapan ini tenang, tetapi dalam pikiran bak dikepung sepuluh lawan bersenjata, sedangkan aku lumpuh.
Apa yang terjadi ketika Belanda memperketat kebijakan kerja rodi, aku tak tahu banyak hal karena meninggalkan masa lalu menggunakan Portal Titian belum lama sesaat setelahnya. Aku bukan Hanson yang melihat semua. Sekadar Buku Hirap sumber informasiku.
“Saya perlu mempertimbangkan pendapat kalian.” Lebih baik beralasan sebelum Mayjen Bernandus—bisa saja—meminta opiniku dan menjadikannya titik kecenderungan keputusan.
Aku agak mengumpat dalam batin. Peristiwa ini tak tertulis dalam Buku Hirap sehingga aku tak memiliki persiapan atau perkiraan akan perubahan strategi mencari Pedang Safir.
Hasil dari rapat para Belanda kali ini, tak lain pembantaian. Buku Hirap langsung menjelaskan pelaksanaan keputusan tersebut dengan mengabaikan agenda di belakangnya.
Sesuatu melintas di benak, hal menantang selagi aku berada di ruangan ini. Kemungkinan lima puluh persen, bukan berarti mustahil. Aku akan mencoba mengubah masa lalu!
Alasan pertama, aku ingin membuktikan hukum Portal Titian. Fakta sejarah yang tertulis di buku, dikatakan tak dapat diubah. Sementara catatan mengenai rapat ini tiada di mana pun, itu artinya ada kemungkinan peristiwa ini dapat diubah.
Kedua, hasil akhir rapat ini—pembantaian—sangat merugikanku. Bila situasi memanas dan tak terkendali, kemudahan mencari Pedang Safir pun berkurang. Tak ada salahnya aku berusaha mengurangi rintangan misi kami.