Lengan kemeja robek dan bercak darah merembes. Aku khawatir pada Sian, tetapi dia bilang tak apa. Sian bercerita tentang aksi merebut kembang api sparkles dan kejar-kejaran dengan anak tetangga.
Tersisa satu kembang api sparkles. Sian menenami Iris menyalakannya sehingga terpaksa bertahan di rumahku lebih lama. Sama seperti tempo hari.
Selagi mereka sibuk berdua, aku menghampiri Flin di halaman samping rumah. Dia duduk di ujung teras setinggi enam puluh sentimeter. Memandang atap kediaman tetangga yang terlihat di balik pagar. Aku yakin dia melamun.
Kuhampiri dan ikut duduk di sebelahnya.
Tatapan Flin langsung bergeser padaku. Melirik tajam. “Ngapain kamu ke sini?”
Aku mencibir. “Suka-suka.”
Flin mendecak, lantas kembali memandang atap rumah tetangga dihias cakrawala nan jauh di sana.
Tatapanku kian lekat. Dia terlihat berbeda sepulang dari masa lalu. Lebih kasar, cerewet berkurang. Aku suka poin kedua, tetapi sepertinya bukan pertanda baik. “Ada apa?” Aku hati-hati bicara, takut menyinggung sesuatu.
“Jangan tanya aku ada apa!” Flin mendadak kesal. “Semua gara-gara orang Belanda itu!” Nada bicara berangsur naik. “Aku dipermainkan! Aku dipojokkan!” Dia membuang muka cepat. “Aku yang jadi korban!”
Tatapanku berangsur sayu. Benar ucapan Flin waktu itu, apa pun bisa terjadi ketika kami berada di masa lalu, bahkan hal terduga pun. Sekarang terjadi padanya.
“Seharusnya ketika berada di tubuh Hanson, aku berlatih mati-matian agar jabatannya bisa naik! Lalu asal nyuruh Mayjen sialan itu!” Flin memandang tajam sembarang arah. “Dia memanfaatkan keadaan buat kesenangannya sendiri! Gak mikirin orang lain! Gak mikirin dampak kelakuannya!” Flin menghela gusar. “Bahkan aku yang harus menjadi kotor … sebagai algojo!”
Aku agak mengerutkan alis. Kalimat terakhir Flin menimbulkan pertanyaan kecil di benak. Namun, sebelum aku sempat bertanya, Flin melanjutkan bicara—atau lebih tepatnya omelan.
“Bener aja rakyat gak capek gangguin Belanda. Setelah pemberontakan, diplomasi, mogok kerja, masih berani ngelawan dengan nyetor hasil kerja buruk! Belanda emang pantas dibenci sama mereka, dasar durjana kepala batu tercela semena-sema!” Tak kusangka umpatannya paket komplet. Flin sedikit menunduk. Melirihkan suara, tetapi tetap tegas, “Bisa-bisa aku ikut membenci diriku sendiri, reinkarnasi prajurit KNIL!”
Aku menyambar cepat, “Ini cuma sementara. Kalo misi selesai, kamu gak perlu ke sana lagi.”
Ambisinya meningkat drastis. “Aku bakal menghabisi Mayjen—”
“Flin.” Aku heran mengapa sikapnya tiba-tiba seperti ini. Baiklah, hal buruk baru saja terjadi—entah apa itu, tetapi dia tak seharusnya dikuasai emosi seperti ini. Mengingatkan pada Papa, dasar!
“Kamu tahu apa?” Flin membentak.
Lantangnya terngiang di telinga. Bohong bila aku masih tak bergeming. Sesaat terdiam, seraya menguatkan diri. Kembali fokus ke masalah awal. “Sebenarnya kenapa?” tanyaku lembut. “Kamu gak biasanya kayak gini.”
Flin tetap memandangku beberapa saat. Raut kesalnya berubah miris. Lantas membuang muka.
“Flin.” Aku mendekat sedikit. “Kamu seorang kesatria, ‘kan? Bertekad kuat.” Itulah dia yang kukenal selama ini, bukan sosok yang mudah goyah. “Keadaan emang gak selamanya sesuai ekspektasi, tapi kamu harus selalu menerima.”