Berbalut enggan, Flin membawa sepeda motor matic punyaku. Jujur saja, pemuda tinggi, tampan, nan badan menyerupai atlet sangat tak pantas berada di kendaraan seperti ini. Setidaknya mobil atau moge lebih cocok.
Flin menggerutu sepanjang jalan. Dia risih membayangkan orang-orang melihat dan berpikiran jika kita sepasang kekasih.
Cibirannya berhasil membuatku mengalihkan perhatian. Namun, begitu sunyi hadir, aku terpikir sekali lagi ucapan Flin. Kehangatan memancar dari dalam diriku, membisik tenang. Semburat merah muda kemungkinan hadir di pipi.
Kita sepasang kekasih.
Aku meraih tangan kiri sendiri, bekas sensasi genggaman Flin—ketika dia menangis tadi—terasa. Di luar dugaan, dia bisa bersikap lembut. Di samping itu, secara tak langsung aku akhirnya bisa menarik Flin ke sisiku.
Aku memandang punggung Flin. Dia memiliki postur sempurna selayak kesatria. Bisa menjadi tempat di mana aku bersembunyi dan berlindung sepenuhnya.
Flin tiba-tiba meraih tangan kiriku, kemudian diletakkan di pundaknya. “Pegangan! Kalo kamu jatuh, aku males nolongin!”
Wajahku sudah memanas bukan main, bahkan mungkin juga memerah bak ceri matang. Namun, seketika mencibir usai mendengar kalimat Flin.
Kami sampai di perempatan terbesar kedua di kota. Sepeda motor diletakkan berjajar bersama kendaraan lain di basement. “Biar aku yang bawa karcis parkir! Kalo kamu, nanti hilang!”
Aku gemas ingin memukul Flin. Sejak tadi kata-kata yang keluar dari mulutnya kian menambah kesan menyebalkan. Aku heran bagaimana bisa Sian bertahan dengan orang seperti dia.
Lantai pertama mall berisi keperluan sehari-hari, semacam makanan, pakaian, dan berbagai toserba. Naik satu tangga, ada surganya literatur, keperluan sekolah, kantor, aksesoris, dan sejenisnya.
Kami mengambil lift langsung ke lantai tiga. Paket lengkap bagi yang ingin bersenang-senang, ada game center, karaoke, dan bioskop. Terkadang juga ada pertunjukkan kecil-kecilan tertentu digelar di sini.
Aku menghampiri salah satu toko mainan anak. Beragam puzzle, bola-bola lucu, replika set dapur mini, hingga mainan mobil yang bisa dikendarai anak usia lima tahun. Buah hati siapa coba yang tak mau diajak kemari.
Sayang, aku tak menemukan hasil. Padahal sudah berkeliling dan memeriksa tiap rak. Daripada pusing, kucoba tanya wanita muda pramuniaga.
“Beragam kembang api dijual bersama keperluan pesta. Ada di lantai dua.”
Aku mematung sejenak, sebelum memaksa senyum, berterima kasih, lantas beranjak pergi.
Flin di belakangku menggerutu kesal. “Turun lagi!”
“Kamu udah nurut ikut, gak usah protes!” Aku menekan tombol bertulis angka dua, usai Flin memasuki lift pula. Instrumen tempo cepat yang menggema di lantai tiga perlahan redup, berganti sunyi.
“Kamu yang maksa, ya!” Flin melirik sinis.
Aku memutar bola mata balas. Bergegas keluar dari lift ketika pintu terbuka. Hening pecah oleh Miserable Fate—entah mengapa selalu kebetulan diputar tiap kali aku datang—terdengar sayup-sayup. Namun, agaknya, kebanyakan pengunjung memang menyukai lagu ini.
Till a fateful day.
Till a fateful day.