Sinkronisasi Jiwa

Adinda Amalia
Chapter #29

23 || Flin


Lagu menghentak-hentak di lantai tiga tak terasa istimewa. Beda cerita ketika kami memasuki lantai dua. Senandung sama seperti terakhir kali aku datang, Miserable Tale, diputar kembali. Tak hanya itu, peristiwa tempo hari seketika ikut terbayang.

Aku ingat memperhatikan Ria dari kejauhan, waktu itu. Entah mengapa juga sempat berpikir hendak menghampirinya. Memang agnosia visual Ria tampak kambuh, tetapi seharusnya menjadi urusan sendiri. 

Little wolf howl it away.

But baby honey bear persistent.

Ria berjalan lebih dulu. Aku mengekor di belakang sambil asal melihat barang-barang yang ditawarkan mall. Lagu tenang ini anehnya justru mengusik pikiranku, padahal instrumen campur aduk di lantai tiga sama sekali tak sulit diabaikan.

Scaredy baby honey bear.

But it won't move an inch.

Ada saja hal melintas di kepala. Lain dari yang sebelumnya, tetapi sama-sama tentang Ria. Aku tak tahu mengapa kalimatnya sekian menit lalu bak perintah mutlak baginda raja, “Tiadanya bocah itu jadi refleksi … lalu terakhir, fokus ke misi dan gak usah nengok ke mana-mana.”

Little wolf tilts his head.

Flurried, wonder, feels bizarre.

Aku tak bisa tenang membayangkan raut anak lelaki itu di detik-detik terakhirnya. Serasa hancur segala kehidupan, harga diri, perjuangan, dan posisiku sebagai kesatria. Menghabisi nyawa orang tak bersalah merupakan pantangan—meskipun hal itu tak tertulis secara resmi sebagai peraturan, tetapi telah menancap kuat dalam jiwa.

Ria memutar balik hal itu. Mengubah kesalahan besar menjadi pelajaran paling berharga dalam hidup. Gelisah sirna seketika, berganti teduh menyelimuti perlahan. Kian merasuk, memenuhi raga, saat Ria memilih tak menolak tanganku yang memegang jemari lentiknya erat, bersamaan dinding pertahanan terakhir roboh.

Why is it scared if courageous?

Why is it brave if fearful?

Ria satu-satunya yang tak mengekang sikap tangguh. Orang-orang lain yang kutemui selalu berekspektasi bahwa seorang lelaki, terlebih kesatria, tak boleh menangis. Aku memegang opini mereka itu sejak dulu, sebelum akhirnya bertemu titik terendah di mana sisi lemahku terkuak.

Aku tak akan menutupi seperti ekspektasi orang-orang, melainkan menghadapinya. Seperti apa yang Ria lakukan secara tak langsung—membiarkanku menangis.

Till a fateful day.

Lihat selengkapnya