“Jika kita menggunakan sifat logaritma a log b sama dengan seper-b log a, maka bisa kita tentukan hasil ….”
“Belok kanan, belok kiri.”
Aku menengok malas. Sisa tenaga untuk memperhatikan penjelasan Bu Rat kurang dari satu persen, mendadak menjadi minus ketika gadis yang duduk di bangku sebelahku berceloteh.
Masih mending aku mendengarkan Bu Rat, daripada dia yang fokusnya telah naik pesawat dan berjalan-jalan di kota fashion. Ngomong-ngomong, aku bisa memahami mengapa dia tiba-tiba berkata seperti itu. Pelafalan b log terdengar seperti ‘belok’.
Aku menggerutu. “Siapa sih yang ngatur jadwal matematika ditaruh di jam terakhir?” Masa bodoh tentang materi, aku sudah cukup paham sehingga mengabaikan satu sesi rasanya tak apa.
Daripada memaksa secuil tenaga untuk ikut memecahkan soal matematika, lebih baik aku memandang keluar jendela. Salah satu dari sepasang gadis—di halaman kafe depan sekolah—terlihat lebih muda, terlihat seperti adik-kakak. Mengingatkanku pada Iris, juga Putri Geya.
Penjelasan Thalia tentang cara mengatasi piromania hampir tak berguna untuk perkembangan usahaku menjaga tekanan mental Putri Geya stabil. Meski begitu, aku tetap berterima kasih atas ilmunya.
Tempo hari, yang kulakukan sepenuhnya berpedoman pada insting. Kebanyakan orang pasti senang membicarakan topik yang mereka gemari, kegiatan favorit, dan sejenisnya. Maka karena itu aku membiarkan Putri Geya memenuhi salah satu hal kesukaan.
Kurasa upaya seperti itu akan berhasil. Aku akhirnya bisa melihat senyum lebar nan tulus Putri Geya. Namun, salah satu kalimatnya terus terngiang di kepala dan membuatku resah tidur.
“Mbakyu tak selalu ada. Tak selalu melindungi saya.”
Masuk akal memang, mengingat Putri Paramitadewi—sungguhan, bukan sosok yang kuperankan saat menjelajah masa lalu—belum tentu mengerti dan peduli sepenuhnya akan keadaan Putri Geya.
Kegelisahan menggelayuti. Bagaimana bila Putri Paramitadewi secara tak langsung mengacaukan usahaku selama ini? Apa aku harus menulis surat, mengatakan pada Putri Paramitadewi apa yang sebenarnya terjadi agar dia mau diajak bekerja sama? Namun, aku tak yakin akan berhasil. Bukankah itu sama sama mengubah masa lalu? Lantas mustahil.
Ponselku berdering. Lamunan buyar seketika. Satu pesan masuk dari Iris. Seingatku pagi tadi dia bilang akan meninggalkan sekolah lebih awal karena agenda ujian kelas sembilan dan akan pulang bersama Eboni.
Kak Sangria, Iris lagi senang-senang di rumah! Gak perlu khawatir! Pulang hati-hati, jangan lupa kalo Iris udah di rumah, ya?
“Ayo! Perhatikan! Kalian selalu aja males kalo diajar!” Bu Rat agak menggebrak papan tulis.
Aku spontan menyimpan ponsel ke dalam tas. Duduk rapi. Agak menunduk sebagai tanda merasa bersalah. Begitu pun teman-teman sekelas
Sepuluh menit sebelum bel pulang terpaksa diisi ceramah panjang lebar. Hanya perlu mendengarkan, tetapi anehnya menimbulkan kesal sendiri. Di tengah perjalanan pulang, sebelum benar-benar sampai di rumah, aku mampir ke kedai guna menenangkan diri.
Kucing kecil menyapa usai aku memarkirkan sepeda motor. Bulu oranye kian mengkilap dan wangi. Ukuran tubuh sudah lebih besar, bahkan bisa dibilang gemuk. “Kamu hidup makmur ya sekarang?” Mengangkatnya, menggendong seraya melangkah memasuki kedai.
“Pulang sekolah, Nak?” Senyuman wanita tua pemilik kedai sangat ramah.
“Iya.” Aku duduk sambil memangku kucing. “Satu teh hangat aja, Bu.”
Pesanan datang tak lama kemudian. Obrolan singkat mengalir alami. Wanita tua pemilik toko membagi kisah, membuatku merasa kehidupan SMA anak jaman dulu tak kalah menyenangkan dari masa sekarang.
Tanpa sadar, segelas teh hangat telah habis. Aku membayar, mengucap terima kasih—tak lupa mengembalikan kucing oranye—lalu meraih sepeda motor. Spontan menoleh saat dedaunan terjatuh, lantas menghilang ditelan pinggiran sungai. “Pasti kebawa arus ….”
Aku menarik gas, memasuki perumahan.
“Kak Sangria pula—” Aku mematung tepat di ambang pintu saat mendengar sayup-sayup tawa renyah Iris dan suara imut lelaki yang familiar, tak salah lagi Sian. Jantung bak terbiasa diberi surprise, aku memilih diam ketika melihat Flin duduk di sofa cukup dekat dariku.
“Lama amat!” Flin memandangku sinis. “Sekolah apa pindah rumah sih kamu?”