Perkara sama seperti sebelumnya, atau bahkan lebih parah. Putri Geya sedikit pun tak terkesan bercanda akan kata-kata. Dia sungguh memandangku kesal, sedih, nan kecewa atas diriku.
Aku terkejut bukan main. Tak bisa berkata-kata. Benar perkiraan waktu itu, tindakan Putri Paramitadewi—sungguhan, bukan aku—bisa saja tak bersesuain dengan dirinya yang kumainkan. Ini bisa mengacaukan rencana awal!
Tak salah lagi, sesuatu pasti terjadi di antara Putri Geya dan Putri Paramitadewi, ketika aku sedang tak berada di masa lalu. Aku tak tahu pasti apa itu, tetapi harus diatasi atau segala upaya sejauh ini hancur begitu saja.
"Saya tak percaya Mbakyu lagi ...." Putri Geya mundur. Semakin menjauh dariku.
"Maaf ...," ujarku lirih. Namun, aku tak melihat tanda kata-kataku cukup merasuk Putri Geya. Aku pernah mengatakan hal sama sebelumnya. Dia mungkin menganggapku hanya akan mengulang kesalahan terus-menerus.
Jemari menggenggam. Bibirku terlipat erat. Tak boleh sembarang berkata dan membuat keadaan semakin kacau. Aku perlu menarik kepercayaannya padaku kembali, dengan cara apa pun.
"Saya memang Mbakyu yang buruk ...." Suaraku memelas. Materi penghayatan drama yang kupelajari di sekolah ternyata sangat bermanfaat kali ini. "Terkadang saya tak bisa mengendalikan diri."
Dari ujung sudut pandangku, terlihat Putri Geya mendengar baik-baik. Raut sedikit berubah. Dia jelas bukan gadis yang mudah tega. Hatinya lembut, saat ini sudah mulai tersentuh.
"Saya menyesal usai tersadar, tak seharusnya mengabaikan Adikku Geya .... Saya merasa seperti seonggok sampah, teganya melakukan hal itu kemarin." Aku menggeleng kecil bak tokoh utama pementasan seni di sekolah.
Putri Geya sedikit mendekat. Gerak-gerik tak bisa berbohong jika dia hendak membantah kalimatku. Namun, aku lebih dahulu menyahut.
"Adikku Geya pasti merindukan Mbakyu, pahlawan yang selalu ada, memeluk erat dan membela dari kejamnya hidup." Kepala kian menunduk seiring suara merendah. "Saya harap bisa selalu menjadi orang seperti itu untuk Adikku. Tapi, saya gagal."
Emosi merambat dengan sendirinya dari kata-kata barusan, sehingga aku tak perlu berakting. Terasa seperti teater yang diangkat dari kisah nyata. Aku tiba-tiba berkaca pada diri sendiri, bertanya apakah telah menjadi kakak yang baik bagi Iris—mungkin Geya juga.
"Mbakyu …," ujar Putri Geya pelan.
“Saya memang buruk."
"Tak! Mbakyu tak buruk!" Dia menghampiri. "Mbakyu sendiri kan yang bilang, siapa pun tiada sempurna." Sepasang alisnya terangkat. "Saya meminta maaf karena menuntut Mbakyu selalu hadir untuk saya."
Binar mata Putri Geya tak ada perbedaan dengan Iris. Bahkan keduanya sama-sama bisa bersikap dewasa, tak masalah meski seseorang yang seharusnya menjadi kakak, justru jauh dari sebutan itu.
"Maaf Adikku ...." Lenganku melingkar padanya, memeluk erat. "Saya akan menjadi lebih baik."
Putri Geya meletakkan kepala di pundakku. "Mbakyu jangan berubah ...." Dia meraih lengan sedikit bajuku. "Saya suka Mbakyu yang seperti ini ...."
Aku tak bisa berkata. Jika sudah kembali ke masa sekarang, Putri Paramitadewi akan menjadi dirinya sendiri, tak dikendalikan olehku. Bagaimana jadinya nanti? Hampir mustahil sikapnya tetap seperti ini.
Berat untuk berjanji. Namun di sisi lain, aku ingin Putri Geya percaya padaku.
"Mbakyu."
"Hmm?" Lamunanku buyar seketika. Memandangnya yang tiba-tiba melepaskan diri dari pelukanku.
"Mau melakukan kegiatan favorit Mbakyu?" Senyum Putri Geya merekah lebar.
Tak kusangka Putri Geya memperhatikan benar dan mempelajari bagaimana tindakanku dulu, sampai mempraktikkannya saat ini. Aku jadi semakin percaya jika sosok kakak menjadi salah figur besar adiknya.