Bagai mimpi buruk, sekeliling dikuasai prajurit KNIL dan rakyat yang saling mengincar nyawa satu sama lain. Mendengar suara Flin tiba-tiba, seolah bunga harapan bermekaran di tengah padang pasir.
Aku lega sekaligus ingin menangis—melepas seluruh bayang-bayang mengerikan yang menyesakkan. Spontan memanggil namanya penuh perasaan, dengan suara hampir tak terdengar.
"Cepat!" Dari kejauhan, Flin mendekat dan langsung menggandeng tanganku.
Dia menggiringku entah ke mana. Sambil memastikan Putri Geya masih dalam genggaman, aku terus mengikuti Flin. Sekuat mungkin melawan gelisah akan riuh ricuhnya sekitar.
Terus berlari jika Flin berlari. Berhenti, bila dia berhenti. Bergegas bersembunyi di dinding pelindung istana, tak peduli punggung sampai membenturnya keras. Tiba-tiba Flin menarik tanganku ke bawah, aku ikut menunduk pula, begitu pun Putri Geya.
Berselang sebentar, Flin menyeretku agar berjalan lebih ke barat. Merambat dinding pelindung istana. Dia tak melepas genggaman, tetapi sigap berdiri di depan kami—seolah melindungi. Senapan diangkat menggunakan satu tangan.
Aku tak tahu ke mana pelurunya melesat karena langsung mendekap Putri Geya erat-erat sesaat setelah suara tembakan terdengar. Kian detak, semakin menggetarkan jiwa dentuman tersebut.
Pikiranku bak bisa dikendalikan lagi. Berulang kali terasa seakan salah satu dari sekian senjata tajam nan mematikan di luar sana akan mengarah padaku. Namun, hal itu tak kunjung terjadi, masih menjadi andai-andai belaka.
“Gaan, gaan, gaan!” Flin menggunakan Bahasa Belanda—mungkin terlalu terbawa suasana. Aku tak tahu apa artinya, tetapi yang pasti kami harus cepat.
Dia mendorong Putri Geya agar memasuki celah kecil dinding pelindung istana, disusul aku. Kemudian, Flin segera berpindah posisi ke depan usai kami memasuki area istana. Lebih tepatnya halaman belakang.
Keributan mereda. Aksi pembantaian tak sampai sampai menembus bagian dalam istana. Tetap memantau kanan-kiri—nyatanya aman—Flin membawa kami ke ruangan Putri Geya.
Aku menghela lega. Duduk di sudut ruangan bersama Putri Geya, semoga dia merasa lebih tenang di dekatku. Sementara Flin berjaga di balik pintu yang tertutup rapat
"Makasih …,” ujarku pelan, tak tersisa tanyak tenaga. Entah bagaimana jadinya bila tak ada Flin. "Aku hampir pingsan ketakutan."
Flin memandang sinis. Berucap tegas setengah tak suka, "Kenapa kamu keluar istana?"
Putri Geya langsung meraih salah satu lenganku erat-erat. Tak berani memandang, apalagi menyahut ucapan Flin. Yang dia ketahui, pemuda ini adalah Hanson, prajurit KNIL, salah satu dari Belanda yang kerap memaksa kami tetap diam di istana dan pasti akan marah bila ketahuan kabur
Aku menepuk punggung Putri Geya pelan. "Tak apa, tak apa."
Flin mendengus sambil membuang muka. Raut kesal melekat, terlihat memerah, berbeda dengan kulit tangannya. Aku sedikit merasa bersalah karena merepotkannya lagi kali ini. Ditambah, Flin juga terlibat di pembantaian melelahkan.
Berselang sebentar, Flin tampaknya teringat sesuatu. “Putri Geya! Anda sudah membaca surat rahasia dari Raja Ganendra, 'kan? Sebenarnya di mana Pedang Safir disimpan?” ujarnya tegas nan mengintimidasi.
Putri Geya tak menjawab.
"Katakan!” Flin gusar. “Tak banyak waktu tersisa! Keadaan sudah semakin memanas! Misi harus segera selesai!"
Putri Geya merintih ketakutan, kian merapat padaku. Aku langsung mendekap erat, berharap bisa menenangkan. Pasalnya, berada di tengah aksi pembantaian, tantangan bukan seperti memasuki rumah hantu, kali ini tak bercanda lagi.
Perasaan Putri Geya tak mungkin stabil secepat itu, sesaat setelah kami mengamankan diri di ruangannya. Tahu begitu, Flin berani-berani membentak sehingga membuatnya jauh lebih panik.