Bukan hanya kemunculan Putra Mahkota Pramana yang menaruh pengindahan tersendiri bagiku—lebih tepatnya anggota KNIL. Mengetahui adanya sosok bangsawan selain Putri Paramitadewi dan Putri Geya, tak kalah mengguncangkan.
Putra Mahkota Pramana percaya diri. “Keinginanmu sama seperti mereka? Jenawi—”
“Pedang Safir.” Aku tak kalah oleh aura mengintimidasi pemuda bangsawan itu, justru memberi kesan serupa.
Terlihat jelas pemuda bangasawan itu tertarik. Tak heran, aku menggunakan istilah lain daripada prakyat dan mantan prajurit Kerajaan Hirap menyebutnya.
Benar juga, aku teringat sesuatu. Hal ini membuat bola mataku melebar, lalu menyipit kurang dari sedetik kemudian. Pantas saja terasa tak asing akan nama itu. Jadi ini putra tertua Raja Ganendra yang dibicarakan Ria waktu itu? Putra Mahkota Pramana … penggambaran paling sempurna dari kakaknya?
Membahas terkait Ria, membuat isi kepalaku lagi-lagi tak bisa dikendalikan. Aku bergegas mengambil alih kewarasan, sebelum termangu kian lama. Sosoknya mengundang banyak pertanyaan dalam benak. Ke mana Putra Mahkota Pramana selama ini? Sampai Belanda melewatkan tentangnya sehingga nama itu tak tertulis di Buku Hirap.
i-kamu isa tahu, ija tahu tapih ija buni
Paragraf pertama, baris kedua. Kurang lebih berarti kamu satu tahu; ia tahu, tetapi ia bersembunyi.
Bukan hanya Putri Geya, masih ada ada satu orang lagi yang mengetahui tentang Pedang Safir. Namun, keberadaannya entah di mana. Tak salah lagi, putra Mahkota Pramana lah yang dimaksud. Terlebih, Ria bilang dia—kemungkinan tinggal atau menetap—di istana kecil.
“Kau lebih mementingkan Safir dibandingkan status kepemilikan Raja yang dimiliki benda itu?” Putra Mahkota Pramana menunjukkan perhatian khusus. Seperti sebuah penyegaran mengetahui maksud keberadaan dan tujuanku di sini karena berlainan dengan dua anak buahnya
“Kekayakan Hirap telah diambil alih oleh kami.” Sepersis mungkin kubuat kesan selayak KNIL. “Termasuk benda itu,” ujarku, alih-alih menerangkan alasan sesungguhnya—mengambil Pedang Safir agar Putra Mahkota Sirulean hidup kembali.
Senyum tipis Putra Mahkota Pramana terlukis. Dia memandang Pedang Safir bak pusaka turun-temurun dari kakek leluhur—sangat berharga, lantas beralih padaku. “Maaf, tapi saya tak bisa memberikannya.”
“Saya rasa kau tak lupa, siapa sekarang yang berkuasa.” Aku berlagak sok tinggi darinya. “Kau tidak gila takhta, ‘kan? Atau perlu saya panggil dengan sebutan Putra Mahkota Pramana?” Berbeda denganku, Hanson sebagai salah satu pihak Belanda sangat tak wajar menyapa orang-orang Hirap disertai jabatan.
“Hirap tak ada lagi.” Nada bicaranya melirih, seiring secercah awan putih di antara gerombolan mendung akhirnya berganti ke warna kelam.
“Nah, begitu kau paham.” Seringaiku mengembang tipis. “Semua yang ada di sini milik kami. Jadi, berikan itu.” Mengangkat tangan, meminta Pedang Safir di yang masih bertengger penuh kilau di dalam kotak kaca. “Saya tak akan memaksa.”
Satu, dua, hingga tiga detik kami saling pandang. Membunuh dengan sorot bak petir menyambar satu sama lain. Dia memang tak terlihat hendak mengalah, tetapi jeda telah menandakan adanya kekukuhan hati pudar yang berusaha dikumpulkan kembali. “Lepaskan satu ini.”
“Tak akan.” Tanganku menggenggam senapan di pinggang. Posisi bersiap sekaligus memberi kode—Putra Mahkota Pramana pasti paham.
Bola mataku melebar. Meski samar, aku bisa menyadari Putra Mahkota Pramana berniat mengambil Pedang Safir dari dalam kotak kaca. Bukan untuk menyerahkan, melainkan sebaliknya. Dia tak memancar setitik pun keraguan, apalagi menciut. Parah lagi, justru aku yang dibuat bergidik ngeri.