“Pas op!” seruan Letkol Heinrich menyadarkanku.
Aku mengangguk mantap—atas pesannya agar tetap waspada—saat dia melesat meninggalkanku. Letkol Heinrich menggantikan posisi prajurit-prajurit kami yang ambruk. Sialnya, lawan belum juga habis. Ditambah pemuda rakyat memperparah keadaan.
Berselang kurang dari sekejap mata, aku menyadari para mantan prajurit Kerajaan Hirap berlari mendekat seraya mengangkat tongkat. Aku tanggap menghindar, meraih, lantas memutarnya sehingga melintang di depan dada. Masing-masing dari kami mengerahkan seluruh tenaga, merebut dan mempertahankan tombak.
Satu orang terkunci sementara waktu, sedangkan sisanya segera mendapat salam dari peluru-peluru yang melejit dari senapan. Genangan merah memenuhi tanah perlahan, juga aroma anyir menyebar.
Konsentrasi terpecah dan belum sepenuhnya fokus, tiba-tiba tombak berhasil diambil alih. Si mantan prajurit satu ini berusaha mengayun ujung lancip tombak. Aku sempat membelokkan arahnya. Memang ujung lancip gagal menusuk atau menggores, tetapi pegangan tombak menghantam dahiku kencang.
Aku memekik sakit, juga geram. Memegang kepala. Berjalan mundur beberapa kali. Sesaat sebelum mantan prajurit Kerajaan Hirap menusukkan tombak ke dada, aku menarik pelatuk—sebelumnya berpeluang mengangkat laras senapan setinggi perutnya.
“Fokus, Hanson!” Letkol Heinrich menyeru dari kejauhan.
Aku menatapnya. Kemudian menghela seraya memandang si mantan prajurit Kerajaan Hirap duduk tak berdaya. Mulutnya memuntahkan darah. Aroma khas nan menusuk hidung tercium lebih kuat dari seharusnya—dahiku juga berdarah.
Mendadak lengan berseragam prajurit Kerajaan Hirap melingkar di leher. Tiga orang lain berpakaian serupa mengelilingi. Tak membiarkanku bergerak, salah seorang langsung menendangku. Mau tak mau diri ini menekuk dua lutut di atas tanah, seraya merintih.
“Lepaskan senapan!”
Melupakan rasa sakit tak peduli bagaimana caranya, aku mengangkat dan mengarahkan senjata pada mantan prajurit Kerajaan Hirap di hadapan. "Sebaiknya kalian yang membuang tombak!"
“Jaga bicaramu ...,” bisik lawan yang sejak tadi mencekik. Mata tombaknya entah sejak kapan telah berada tepat di sebelah pelipis kanan. Sial, aku baru mengetahuinya!
Mengernyit, aku melempar sorot tajam. “Hirap, dasar—”
“Tutup mulutmu, Belanda!”
Gejolak panas membara di dalam raga. Tampangnya penuh amarah tak terkendali membuatku muak. Terlebih, ucapan lancang itu. “Siapa yang kau panggil Belanda?”
“Kalian! Penjajah tak tahu diri!”