Tiada sesaat pun hening singgah. Walau tak melihat langsung, aku dapat merasakan atmosfer mencekam di luar. Teriakan terus bersahut-sahutan. Diiringi bunyi tembakan, tombak, dan benda-benda lain saling menghantam.
Aku dan Putri Geya tak memiliki alasan untuk meninggalkan ruang. Terlebih, keadaan di sekitar jauh dari kategori aman. Segala cara kudugakan, mendekap erat, membisik bahwa semua baik-baik saja, agar Putri Geya tenang.
Padahal, tak berbohong bila aku pun was-was. Bukan hal biasa bagi gadis modern—yang hanya mengetahui rumah nyaman dan konflik sebatas adu mulut—untuk berada di tengah pertempuran.
Bukannya mereda, justru sebaliknya. Mendadak tembakan menggelegar jauh lebih kencang—sepertinya dari dalam istana. Putri Geya spontan memekik, dan langsung aku memeluknya erat-erat. Tak lama setelah itu, tombak menggores dinding luar ruang. Getarannya terasa hingga sisi lain.
Pikiranku kian kacau dan Putri Geya semakin merengek ketakutan. "Tak apa, tak apa .... Kita aman di sini. Adikku Geya tenang saja, ada Mbakyu," aku membisik lembut. Meski tak sepenuhnya tenang, setidaknya usahaku mendapat hasil sedikit.
Namun, Putri Geya lagi-lagi ketakutan ketika para Belanda, mantan prajurit Kerajaan Hirap, dan rakyat bertempur hingga membentur dinding ruang. Dua kali, tiga kali, seterusnya seolah tak mengenal henti, bahkan berusaha menjebol ke dalam ruangan.
Tubuh Putri Geya gemetaran. Tak hanya dia, aku pun keringat dingin. Jatung berpacu cepat, seakan-akan aku dapat mendengar detaknya jelas-jelas menggunakan telinga.
Aku jengkel dengan angan-angan sendiri. Mau berapa kali membujuk Putri Geya—dan diri sendiri, bisa dibilang—tak sekali pun tenang benar-benar merasuk. Pikiran justru kian kalut.
Bagaimana bila mereka menerobos masuk? Bagaimana cara aku melawan atau setidaknya melindungi diri dan Putri Geya? Apa aku harus lari? Ke mana? Bagaimana pula cara melewati orang-orang yang sudah menjebol ruang dan di luar sana?
Apakah ada tempat aman? Di mana?
Suara tembakan beruntun membawaku menuju ruang hampa. Seperti di angkasa, tetapi sekeliling bukan hitam, melainkan putih. Kaki tak menapak karena memang tak ada apa pun. Aku sendirian, Putri Geya yang berada di pelukanku sekejap lalu, entah di mana.
Samar-samar terdengar riuh ricuh pertempuran. Dekat, tetapi terdengar lirih. Aku pun masih ingat, sekian saat lalu berada di Istana Kerajaan Hirap. Di tengah peristiwa pembantaian yang memanas.
Itu artinya, aku tak boleh diam saja.
Sekuat tenaga berusaha memperkuat kerja otak, juga menggerakkan tubuh. Hasilnya nihil. Kian keras upaya, semakin sulit untuk melakukannya. Sampai aku berada di titik ... terlalu berat untuk merakit usaha lagi.
Suara pertempuran nan jauh, melirih. Hingga tak terdengar lagi ... dan, di mana aku sebelumnya?
Ngomong-ngomong, aku lelah. demi satu tujuan mulia, seberapa jauh aku telah melangkah? Berapa lama lagi mencapai garis finish? Sepertinya, sebelum mencapai puncak, aku akan tumbang di tengah jalan.
Tengah jalan itu, kemungkinan saat ini. Benar ketika orang lain bertanya mengapa aku mengabaikan agnosia visual yang tak kalah berbahaya, demi mengatasi piromania Iris.
Seharusnya aku tak mengabaikan gangguan mental, karena itu bisa saja membunuhku.