Sinkronisasi Jiwa

Adinda Amalia
Chapter #38

31 || Sian


Aku tak bisa berbohong tentang Flin karena Iris mendengar suaranya. Hal terakhir yang bisa kukarang untuknya adalah bahwa Sangria memiliki urusan penting belum selesai dan perlu menginap di rumah teman lain, sedangkan Flin telah rampung sehingga dia bisa pulang.

"Kalo ada apa-apa atau butuh sesuatu, telepon aja." Dia tampak baik-baik saja. Duduk di sofa ruang tengah, tertawa kecil, sambil menonton televisi. Aku yang tak tega mengetahui Iris sesungguhnya ditinggal Sangria yang saat ini terjebak di masa lalu.

Iris mengangguk. Memintaku segera pulang karena matahari tak lama lagi juga meninggalkan bumi. "Hati-hati, Sian!"

Berat hati mengucap salam, lantas beranjak pergi. Tiga langkah kemudian, aku berhenti dan berbalik. "Beneran ... beneran Iris telepon aku ya, kalo ada apa-apa, kalo butuh sesuatu!"

"Iris ngerti, Sian!" Dia berteriak gusar—dan mungkin akan murka bila kuulangi sekali lagi. "Cepatlah, pulang! Kamu harus sampai di rumah sebelum gelap!"

"Baiklah ...," ujarku, masih dengan berat hati. "Aku beneran pulang, lho ya!"

"Iya, Sian!"

Aku bergegas menutup pintu sebelum Iris menyusul dan mengomel panjang lebar. Hari biasa aku tak akan bersikap seperti ini. Pasalnya sekarang Sangria terjebak di masa lalu—seperti yang kukatakan tadi.


"Flin!" Aku menyusulnya yang sejak tadi meninggalkan kediaman Iris lebih dulu dan menunggu di balik gapura. "Kamu sungguh gak mau kembali ke masa lalu?"

Flin menatapku sesaat tanpa menjawab—aku jadi khawatir karena dia juga tak menggerutu, padahal sudah sangat lama menunggu—lantas membuka portal di permukaan tanah menuju Buana Rubanah. 

Sesaat setelah memasuki portal, kami menapak di halaman depan Istana Kerajaan Buana Rubanah. Kesatria yang berjaga mengucap selamat datang. Aku mengangguk kecil dan tersenyum, sedangkan Flin pergi begitu saja.

"Flin!" Aku mengejarnya. "Gak apa-apa kalo kamu butuh waktu, tapi nanti kembali ke masa lalu, ya?"

"Kurasa Anda tahu keputusanku, Pangeran Sian." Dia tiba-tiba berhenti dan berbalik, membuatku mengerem mendadak dan hampir menabraknya. "Aku gak mau kembali."

Beberapa detik kami beradu pandang. Aku tak buka suara, sebelum Flin melanjutkan langkah meninggalkanku. "Flin!" Belum menyerah, kukejar lagi dia. Tak lupa dengan gaya bicara memelas andalan—yang katanya imut. "Kembalilah—"

Flin memasuki markas kesatria, tepat di samping istana, lalu menutup pintu kasar. Tak membiarkanku masuk. Aku mengerang kesal, menghentak-hentakkan kaki. "Lancang! Ini peringatan terakhir! Kalo berani kayak gitu lagi, siap-siap dapat hukuman!"

Aku mendengus, kemudian berjalan menuju pintu masuk istana.


Beberapa hari, termasuk semalam, aku tak bisa tidur nyenyak. Jika Flin memang ingin menghentikan misi saat ini juga, maka aku bisa menghabiskan waktu bermain dengan saudara-saudara bangsawan seperti dulu. Namun, aku tak bersemangat melakukannya.

Kami menghadiri sarapan bersama usai aku mandi dan berganti baju. Tak ada Ayahanda maupun Kakak Sirulean. Adipati Wilis seorang menemaniku. Juga beberapa kesatria berjaga di pintu.

Pertanyaan sama diulang tiap beberapa minggu. "Pangeran Sian bersedia menjadi raja?"

Jawabanku masih sama. Menggeleng.

Adipati Wilis lantas menanyakan tentang misi—beliau tahu tentang upaya kami menghidupkan kembali Kakak Sirulean. Aku tak bisa berkata bahwa Flin enggan melanjutkan. Terpaksa sedikit berbohong dengan mengatakan bahwa kami sedang melaksanakannya.

Aku mengangguk kecil saat keluar dari istana, para penjaga menyapa. Etika serupa kulakukan ketika memasuki markas kesatria. Tak banyak orang di sini, sejak sepuluh menit lalu kulihat mereka berangkat berlatih, sedangkan sisanya masih bersiap.

Langkahku langsung mengarah ke satu-satunya kesatria yang tak terlihat ingin berlatih. Dia duduk di ujung, termenung memandang dinding putih polos. "Flin."

Gelora semangat membara sejak aku berniat datang kemari, dan kian bergejolak saat menghampiri Flin. Namun, secepat kilat berganti kecewa mengetahuinya murung. Tak meresponsku sama sekali.

"Kamu lagi membaca pikiran dinding? Dia bilang apa?" Aku ikut menatap tembok, tetapi tak menemukan sesuatu yang menarik.

Perlahan, Flin menoleh. "Ada urusan apa, Pangeran Sian kemari? Menggertakku buat latihan?"

Bibirku mencibir. "Aku lebih suka mengajakmu bermain ... kejar-kejaran di taman istana! Tapi—" Menggeser tubuh dan membungkuk guna menatap wajah Flin lebih baik. "Kamu gak ingin kembali?"

"Kembali berlatih? Segera." Flin beranjak bersama pedangnya.

"Flin!" Aku menggerutu.

"Iya, iya. Aku berangkat berlatih." Dia tak memandangku sama sekali. Terus berjalan menuju pintu dan meninggalkanku sendirian.

Aku menghentakkan kaki kesal. Mana mungkin Flin tak paham, dia pasti sengaja tak tahu akan kewajibannya—menurutku, meski tak ada aturan resmi—membawa Sangria pulang.

Belakangan ini, kulihat Flin sering melamun di markas kesatria—aku mengintip atau terkadang terang-terangan seperti barusan. Ketika mengunjungi tempat latihan para kesatria, jarang sekali ada Flin di sana. Padahal, dulu dia lah yang paling bersemangat.

Mencoba sabar, tetapi Flin tetap pada pendirian. Biarlah, aku malas menggubris untuk saat ini. Jika dia bersikap semaunya, maka aku akan melakukan hal serupa.

Portal dibuka, aku pergi ke permukaan bumi. Sesungguhnya hal ini sudah kerap kulakukan. Semenjak Sangria tertinggal di masa lalu, tak sehari pun kubiarkan Iris di rumah sendirian.

Terlebih, ini hari sabtu. Siswa full day school telah mendapatkan weekend, tak ada jadwal kelas di sekolah. Iris tak boleh kesepian.

Kemarin Iris berkata padaku bahwa tak perlu repot-repot datang setiap hari, lagi pula ada Eboni yang menjemput dan mengantarnya ke sekolah, juga membantu beberapa hal. Namun, hal itu justru membuatku ingin bersama Iris lebih lama—dibandingkan Eboni. 

“Aku ketemu Sangria di rumah temannya, pas perjalanan kemari,” tentu saja bohong, “dia bilang sibuk banget. Sebagai gantinya, biar aku yang nemenin Iris.” Lagi pula Flin terlihat cuek akan masalah ini, terpaksa aku mengatasi—meski kemungkinan tak akan bertahan lama.

Lihat selengkapnya