Sepasang daun pintu setinggi empat meter terbuka, mendecit keras. Kemudian tertutup, menimbulkan dentuman menggema. Ruangan luas dipenuhi kombinasi cat hijau, krem gelap, putih, dan warna lain. Berlapis keperakan. Jendela besar di salah satu sisi dinding, menyuguhkan sinar matahari buatan banyak-banyak, juga pemandangan langsung keluar istana.
Enam anak tangga naik menuntun menuju singgasana. Adipati Wilis tak pernah sekali pun duduk di sana, atau memegang tongkat trisula raja. Meski hampir sepanjang hari menghabiskan waktu bersama ruangan tersebut.
Aku menekuk sebelah lutut. Menunduk sesaat sebagai penghormatan, sebelum mengangkat kepala kembali. "Anda memanggil saya, Adipati Wilis?"
"Senang melihatmu, Flin." Adipati Wilis melanjutkan setelah aku mengangguk—membalas sapaan, "Sekarang saya makin penasaran. Berapa lama sejak kau berjanji akan mengembalikan Putra Mahkota Sirulean?"
Aku tersentak. "Soal itu ...." Pertanyaan tersebut bukanlah sesuatu yang perlu dijawab. Adipati Wilis menyiratkan tagihan lain, jauh lebih besar. Dahulu bisa kujelaskan tiap-tiap perkembangan perjalanan masa lalu kami menggunakan Portal Titian. Namun, saat segala upaya telah terhenti seperti sekarang, harus berkata apa?
"Flin."
"Ya?" Aku mendongak, usai sempat menunduk akibat kalut dengan pikiran sendiri. Adipati Wilis sekadar menatap tanpa sepatah kata lagi. Aku pun mengerti apa yang hendak disampaikan, tetapi tetap sulit untuk bicara.
"Masalah itu wajar." Adipati Wilis akhirnya bicara setelah sekian detik aku tak kunjung bersuara. "Tapi kau seorang kesatria. Ambil pilihan terbaik sebagaimana seharusnya, lalu hadapi semua risiko mau seburuk apa pun. Ini demi seluruh penduduk Buana Rubahan, mereka menunggu, mengandalkanmu."
Lagi-lagi, pandanganku berangsur turun. "Baik." Meski begitu, aku tak sungguh mamasang niat bermakna serupa.
Adipati Wilis agak mencondongkan tubuh ke depan. "Kau mendengar, Flin? Bukan berarti saya memaksa. Hanya saja, daripada setengah-setengah, sebaiknya selesai. Atau akhiri saja semua." Melangkah mendekat. Meraih pundak kanan seraya menoleh padaku. "Bisakah kau mengambil keputusan?"
Sungguh, aku tak ingin memberi jeda. Pertanyaan tersebut tidaklah sulit untuk dijawab oleh seorang kesatria garis depan Kerajaan Buana Rubahan. Sayang, aku telah kehilangan identitas itu. Bahkan tak tahu siapa lagi diri ini.
"Kursi raja di Buana Rubahan kosong, dan saya tak bisa berada di sini terlalu lama." Adipati Wilis melirih, sekaligus bertambah serius. "Takhta harus segera kembali ke tangan pewaris sesungguhnya."
Putra Mahkota Sirulean. Hanya itu satu-satunya pilihan tersisa, dan memang menjadi misi khusus bagiku untuk mengembalikannya ke Buana Rubanah. Aku menggenggam erat-erat. Kepercayaan Adipati Wilis seorang, yang bisa menguatkan sisa debu terakhir—dari peranku sebagai kesatria—agar tak ikut terhempas pergi.
Entah apa yang akan kulakukan setelah ini. Benar-benar mampu memenuhi harapan Adipati Wilis atau tidak. Sekarang, setidaknya, aku perlu menghormati tangan agungnya yang tersangga di pundak. "Saya tak akan mengecewakan Anda."
Keluar dari ruangan, aku membuka portal menuju permukaan bumi. Menyusul Pangeran Sian yang sudah lebih dulu pergi ke kediaman Ria. Gadis itu tentu tak ada, tersisa adiknya, Iris, seorang.
Pangeran Sian menatap lekat sekian detik, sesaat setelah membuka pintu dan mendapati kesatria gadis depannya ini. Berselang sebentar, dia tersenyum masam—pasti karena aku hanya diam, lalu malas-malasan memintaku memasuki rumah.
"Kak Sangria di mana?"
Belum genap satu menit, kalimat tanya bak tembakan presisi, menyerang sudah. Dari beberapa alasan mengapa ingin melupakan Portal Titian—termasuk perjalanan masa lalu dan lain-lain—urusan gadis itu termasuk salah satu yang paling berdampak padaku. "Ria ... masih sibuk."
Aku menghela napas seraya duduk di sofa ruang tengah. Syukur Iris tak mengulik informasi lebih jauh. Dia sibuk bercanda tawa dengan Pangeran Sian, juga mengobrol tentang hewan-hewan liar, ekosistem hutan, dan sebagai. Aku sedikit terkejut, gadis tersebut menyukai hal seperti itu.
"Ada stroberi di lemari es? Aku bakal bikin jus buat Iris." Pangeran Sian beranjak. Sesaat setelah memutar meja makan, dia melangkah mundur beberapa kali agar bisa menatapku. "Flin, kamu juga mau?"