Sinkronisasi Jiwa

Adinda Amalia
Chapter #41

33 || Flin

Paragraf ketiga. Kita bertemu dengan orang-orang salah yang bertingkah laku bagai sadis, merampas wilayah Hirap beserta tambang. Mereka adalah musuh yang akan menyiksa rakyat Hirap. Jadi, jangan sampai membiarkan mereka memasuki istana, apalagi campur urus dalam pemerintahan kerajaan.

Paragraf keempat. Sampai mati, jangan tunduk atau bahkan mau diperdaya dan bergabung ke sisi lawan. Mereka menyerang kita sampai Kerajaan Hirap benar-benar hancur dan jatuh ke tangan mereka karena ingin merebut harta kita yang terlalu kaya.

Paragraf kelima. Mereka memang akan menang, tetapi jangan sampai mau mengakui kemenangan itu. Kita harus bangkit, terus melawan dengan menggunakan pedang mengkilap yang kuat, yaitu Jenawi Raja. Jika tak sanggup melawan, tak apa, tak perlu memaksa diri karena kejayaan Hirap mungkin memang sudah waktunya habis. Meski begitu, jangan sekali-kali ikut berada di sisi lawan. Ingat, walau semua telah dihabisi, kita juga menang bila tetap berpihak pada Hirap hingga mati.

Dulu aku sudah terpikir dua skenario tentang Putra Mahkota Pramana. Pertama, dia bersembunyi karena keinginan sendiri. Kedua, Raja Ganendra yang memerintah hal itu, sebab sudah tahu sesuatu akan terjadi.

Bukan, itu kurang presisi. Yang benar adalah Raja Ganendra telah memprediksi bahwa Kerajaan Hirap akan kalah dan hancur sehingga itu artinya, "Ria!" Aku bergegas meninggalkan Perpustakaan Medayu Agem.

Buku Hirap tak dengan persis menulis siapa korban jiwa di akhir keruntuhan kerajaan tersebut. Namun, bila Raja Ganendra mengatakan semua telah dihabisi, para bangsawan pun tak akan selamat.

Mendadak melintas bayang-bayang pertempuran Belanda dan para rakyat serta mantan prajurit di Kerajaan Hirap. Mengerikan bagiku untuk mengarungi sekali lagi. Namun, bagaimana dengan Ria? Dia sendirian di sana, takut, terancam. Dibandingkan aku, dia seribu kali lebih berkemungkinan untuk terbunuh. Lantas tergeletak tak berdaya dengan genang darah membasahi.

Tidak!

Masa bodoh dengan peraturan Portal Titian bahwa masa lalu tak dapat diubah. Aku akan membuat Ria tetap hidup, bagaimana pun caranya!

"Pangeran Sian!" Aku memasang tatapan dingin berbalut aura khas para kesatria Buana Rubanah yang sudah cukup lama absen di paras menawan ini, ketika pintu kediaman Iris dibuka dan muncul putra termuda Mendiang Raja Biiru.

"Kenapa kamu kembali?" Pangeran Sian seharusnya paham hanya dari sorot tajamku, tetapi dia masih bergelut tanda tanya.

"Aku cuma mau bilang, jagain Iris sedikit lebih lama lagi karena aku berencana bantuin Ria nyelesain urusannya sekaligus menjemput dia pulang." Memegang kerah blazer, lantas merapikan kasar hingga menimbulkan bunyi khas.

Perlahan senyuman Pangeran Sian mengembang, kian riang hingga sepasang matanya menyipit. "Kalo gitu, masuk dulu dan habiskan jusmu sebelum berangkat!"

"Dimengerti! Di mana jusku?" Aku mendahului melangkah memasuki rumah lebih dalam.

Pangeran Sian menyusul. "Masih di ruang tengah."

"Flin mau menjemput Kak Sangria pulang?" Iris menunjukkan raut tak jauh berbeda dari Pangeran Sian.

Aku melirik gadis itu seraya mengangguk kecil, sesaat sebelum menyambar gelas di meja dan segera meneguk sampai habis. "Entah urusan Ria masih banyak atau gak yang perlu diselesain. Jadi, belum pasti aku bisa membawanya pulang hari ini."

Lebih tepatnya, aku bahkan tak yakin apakah kami bisa kembali ke masa kini atau tidak. Bukan tentang Portal Titian atau apa, masalahnya bila kami terbunuh di sana, berakhir sudah.

Aku berbalik dan melangkah menjauh, setelah meletakkan gelas kosong ke atas meja kembali. Berselang sebentar, langkah secara cepat terhenti, kemudian menoleh belakang kepada Iris. "Jangan ... nungguin kami."

Terlihat jelas dia kebingungan, tetapi aku tak memiliki kalimat lain yang lebih baik untuk menjelaskan. Intinya memang itu, apabila kami sungguh tak bisa kembali, setidaknya Iris tidak terbebani oleh penantian sia-sia.

Lihat selengkapnya