Sinkronisasi Jiwa

Adinda Amalia
Chapter #43

34 || Flin


Bukan hal mengejutkan lagi melihat seseorang menyapa di bangunan tua tersebut. Waktu yang sangat tepat, seolah tahu bahwa aku akan datang. Agak mendongak, sambil mengangkat alis. “Sedang terburu-buru, Pramana?”

Dia tak lagi terlihat ingin meninggalkan tempat ini. Justru bertahan. “Apa yang Belanda inginkan lagi?”

“Belanda?” Aku tertawa kecil. “Kedatangan saya kemari bukan untuk mengurus kepentingan mereka. Ada hal pribadi yang perlu saya lakukan.”

Putra Mahkota Pramana tak mengalihkan pandangan dariku sama sekali. Entah apa yang ada dipikirannya. Yang jelas, dia sedikit berbeda dari pertemuan kami terakhir kali. Aura bangsawan, sang putra dari Mendiang Raja Ganendra, agak memudar.

“Kau tak menerima tamu?” Aku melirik meja kursi sekian langkah di belakangnya. Tua dan berdebu, mirip perabotan di wahana rumah hantu. “Ngomong-ngomong, saya ada perlu bicara dengan adikmu. Dia di sini bukan?”

Tanpa menunggu respons Putra Mahkota Pramana, aku asal memasuki bangunan sambil mendorongnya kasar agar beranjak dari ambang pintu. Langkah cepat berangsur pelan. Sikap pemuda itu sungguh mengganggu pikiran, mengapa dia tiba-tiba seperti ini? Tidak keberatan dengan tindakan lancang barusan?

“Jangan membawanya ke luar.” Dia berbalik guna menghadapku. Menutup pintu sehingga cahaya di ruangan berkurang drastis, menjadi remang-remang. Kemudian, Putra Mahkota Pramana melirihkan suara, “Sudah cukup.”

“Bagaimana bila dia sendiri menginginkannya?” Agak melirik seraya menyipitkan mata, kemudian aku membuang muka. Membelakangi pemuda tersebut, menatap lorong panjang dengan ujung dinding kumuh dan retak kecil-kecil.

Kalimat Putra Mahkota Pramana sesungguhnya membuatku berpikir dua kali. Kuyakin masih ada seseorang lagi selain dirinya di sini, tetapi dia seolah berkata bahwa sesuatu telah terjadi sebelumnya. Biarlah, itu bukan urusanku.

“Saya akan membiarkan, bila memang dia menginginkannya. Tapi, itu tak mungkin terjadi.” Pemuda bangsawan tersebut terdengar percaya diri.

Sebelah senyum mengembang. Aku sedikit menatapnya tajam sekali lagi, lalu melangkah menyusuri lorong. “Putri Paramitadewi!” Kanan-kiri, berjajar pintu ruangan. “Ria!” Teriakan kian kencang, seiring menjauh dari Putra Mahkota Pramana.

Salah satu pintu di ujung lorong terbuka. Tanpa ragu, aku mempercepat langkah. Menyimpan senapan ke pinggang, sebelum menengok ke dalam ruangan. “Ria!” Sesaat aku mematung. Ini bukan sesuatu yang kuharapkan terjadi.

Gadis itu ada di sana. Di dekat pojokan ruang, duduk sambil menekuk dua lutut di depan. Menunduk. Sebagai surai terurai jatuh, menutup hampir seluruh parasnya. Tiada apa pun dia lakukan, dan entah sejak kapan pula hanya berdiam diri.

“Ngapain kamu di sini?” Aku bergegas menghampiri. Menatap gadis itu seraya mengerutkan alis. Terlebih, dia tak menyahut. Motivasi seakan-akan telah terkuras habis, bak kehilangan peran di muka bumi.

Aku memeriksa gadis itu dari ujung rambut sampai jari kaki. Sekilas, tak ada yang salah dengannya. Tanpa goresan luka, bercak darah, maupun ikatan perban—berbeda sepertiku. Namun, dia mustahil baik-baik saja. “Ria, apa yang terjadi?”

Reaksi tak kunjung muncul. Aku sedang berbicara dengan seorang gadis, tetapi terasa seolah menghadapi patung. Kesabaran bukan seperti air samudra yang tiada habis. Aku malas membuang-buang waktu.

Mendengus lirih, memejam sesaat guna meredam amarah yang tiba-tiba memuncak, meski tak sepenuhnya berhasil. “Jawab aku, Ria!” Nada bicara santai tak bisa terkendali lagi. Bungkamnya gadis itu membuatku muak. Aku tak menyukainya.

Lihat selengkapnya