Tak bisa dipercaya ketika Ria menamparku mundur, bahkan sampai beberapa kali. Padahal dulu dia bagai kelinci lugu saat pertama kali datang ke Kerajaan Hirap, menggusarkan bila sekarang malah bertingkah seolah tidak menginginkan kehadiranku.
Terlebih, pemuda bangsawan ini. Dia bukan siapa pun, sekadar orang baru yang kebetulan mirip sang kakak, bagi Ria seharusnya. Lantas bagaimana bisa, di saat aku kesulitan meraih Ria, dia menarik gadis itu ke pihaknya dengan mudah?
Mengapa harus Putra Mahkota Pramana? Aku muak melihatnya!
“Tinggalkan kami.” Dengan menatapku—yang masih terduduk lantai—menggunakan sepasang mata yang mengarah ke bawah, pemuda bangsawan itu seperti tertawa dalam diam melihat target kecilnya tak bisa berkutik.
Tidak. Aku sama sekali enggan memancarkan kesan payah. Namun, sudut pandang kami berdua cukup memanipulasi suasana. Pemuda bangsawan itu dengan cepat mendominasi, seakan-akan telah siap menggilas lawan sampai tak tersisa dalam sekali serang.
Kuku menyayat permukaan lantai sebelum akhirnya menggenggam erat, menguatkan keteguhan yang tersisa. Pandangan sedikit pun enggan beralih. Aku ingin unggul darinya. Harus bisa. Pasti berhasil. Sedikit lagi ….
Gagal.
Aku menunduk. Dia terlalu tanggung, sedangkan aku telah hampir habis oleh kenyataan akan keadaan Ria saat ini. Kekuatan dan semangat untuk melawan tak tersisa banyak. Telah kehilangan selera untuk mempertaruhkan upaya lagi.
Putra Mahkota Pramana katanya memang persis seperti Adly sehingga wajar bila Ria merasa akrab dan lebih berpihak pada pemuda tersebut daripada aku. Itu bukan hal mengejutkan yang menyebalkan sebetulnya. Namun, aku kesal.
Amarah menguasai jiwa hingga aku tak ingin mengucap sepatah kata sama kali. Beranjak dari lantai, aku menghadap samping kemudian bangkit. Meninggalkan ruangan bukan karena menuruti pemuda itu, melainkan keinginanku sendiri. Dia bukanlah putra mahkotaku, tak ada alasan untuk mendengarkan perintahnya.
Keluar dari bangunan tua itu, samar-samar pecahnya pembantaian terlihat dari celah dedaunan dan pohon-pohon. Jauh di sana. Tanpa tujuan jelas, aku mengambil senapan yang sebelumnya tersimpan di pinggang, lalu bersiap melarik pelatuk seraya menyelinap diam-diam memasuki medan pertempuran.
“Hanson! Kau meninggalkan ruang medis sebelum perintahku ternyata!” Mayjen Bernandus datang dari halaman depan bekas Istana Kerajaan Hirap. “Ambil alih posisi di depan, jangan bersantai dengan sedikit lawan di sini! Het is tijd om te werken!”
“Roger.” Aku meninggalkan halaman belakang bekas istana, seperti arahannya. Melewati para Hirap seraya membidik peluru ke arah mereka yang menghalangi jalan. Sampai di depan, bukannya berhenti, melainkan terus melangkah hingga meninggal area bangunan megah tersebut.
Menyeberang jalan, aku diam-diam menuju bekas Aula Kerajaan Hirap. Menghindari pintu depan, aku memasuki pintu belakang. Ada dua ruangan di bangunan tersebut, yang pertama biasanya digunakan sebagai tempat diplomasi dan kedua merupakan gudang.
Berukuran sepertiga lebih kecil dari ruang utama di sebelah, aku tak keberatan. Ini lebih baik, tempat sempurna untuk merenung sendirian. Debu-debu di lantai menjadi saksi bisu, gairah menghunuskan pedang atau sekadar menembak lawan hingga darah berceceran—layaknya seorang kesatria—perlahan runtuh.
Gambaran seseorang di angan, menghancurkan segala hasrat. Aku bisa memutar balik fakta dengan mengatakan bahwa Ria menuai apa yang ditanam akibat memaksa ikut menjelajahi masa lalu, meski pernah dilarang. Namun, itu tak mengurangi jumlah tancapan duri tajam dalam batin.
Jika orang lain mengatakan bahwa jatuhnya keadaan Ria saat ini adalah karena salahku, terdengar bisikan-bisikan yang meminta untuk tak mengelak. Namun, itu tak masuk akal. Terus mengatakan tidak, sedangkan jeritan dalam kepala kian kencang.
Napasku tersengal. Seluruh tubuh terasa nyeri. Tenaga terkuras habis. Hanya dipenuhi oleh tali yang seolah mengikat kaki, tangan, dan leher. Tak mengizinkan berpaling sama sekali, justru mengguyur diri ini dengan angan tiada henti, yang semakin memberatkan.
Aku merasa hampir hancur.
Menghela kasar seraya menyibak rambut kasar, aku perlahan berpindah posisi dari duduk menghadap samping menuju ke depan. Terpejam sesaat guna menenangkan diri. Tak boleh terpedaya lebih jauh lagi. “Benar juga … Pedang Safir.”