“Iris, kamu mau pelihara harimau?” Aku memainkan miniatur berupa kucing besar berwarna belang-belang milik gadis itu.
Dia mengangguk. “Harimau lucu. Tapi cuma bisa dipelihara di kandang yang terpisah dari rumah. Soalnya kalo di bawa masuk, nanti bakal berbahaya.” Iris tiba-tiba mengangkat miniatur singa, kemudian mendekatkan ke wajahku sambil berbicara dengan gaya garang, “Hewan itu bisa memakanmu!”
Aku spontan terkekeh. Entah mengapa, sebentar saja tak bisa diam bila di dekat Iris. Dia sangat menyenangkan, terlebih ketika kami tertawa bersama. Jauh lebih seru daripada bermain bersama saudara-saudara bangsawan.
Miniatur lain berbentuk serigala, aku menyambarnya. Buru-buru menunjukkan ke Iris. “Kalo ini, kalo ini? Kamu mau—”
Suara bel membuatku tutup mulut, begitu pun Iris. Dia beranjak dari ruang tengah, lalu menuju pintu guna memeriksa siapa yang datang. “Eboni!” Gadis itu terdengar semangat dan tersenyum lebar, tetapi aku malah tiba-tiba malas tertawa.
Eboni mengangkat tas kecil yang dia bawa. “Bunda bikin banyak kue, katanya Iris boleh ambil sebagian?” Kemudian menyodorkannya.
“Beneran? Makasih!” Iris melangkah menuju sisi rumah lebih dalam.
Eboni mengikutinya. “Hasil ulangan harian kemarin gimana? Kamu udah dapat review dari guru, ‘kan? Memuaskan?”
“Hmm.” Gadis itu duduk di sofa ruang tengah—sebelahku, meletakkan kotak kue ke atas meja. “Iris senang dengan nilainya, guru ngasih catatan kalo jawaban Iris udah bagus dan cuma perlu nambahin beberapa hal. Yah, bisa dibilang memuaskan!”
Eboni mengangguk-angguk kecil. Berselang sebentar, pandangannya beralih padaku. Tampak tertarik. “Itu ….”
Gadis di sebelah, menoleh padaku sesaat. Lalu kembali ke Eboni. “Ini teman Iris, namanya Sian.”
Eboni sepertinya antusias, dia tersenyum lebar dan melambai. “Halo!”
Aku menunduk kecil—ini etika wajar di Buana Rubanah—hanya mengangkat bibir sedikit. “Hai.”
Hendak mengatakan sesuatu kepada Iris, aku terpaksa mengurungkan niat saat Eboni mendahului. “Oh ya, kata guru, ranking kita dirahasiakan biar gak ada yang minder. Tapi kalo nilai selalu dikasih tahu kan sama aja, kita bisa rumusin peringkat kelas sendiri.”
Iris tertawa kecil, menyiratkan bahwa dia sependapat dengan Eboni, seraya menunjuk-nunjuk lelaki itu. “Iris rasa peringkat kita gak jauh.”
Aku tak suka bila Iris menghabiskan waktu dengan Eboni. Namun, apa yang bisa kulakukan? Lelaki itu benar-benar berada di level di berbeda, mirip seperti Flin dan orang-orang lain yang sudah pintar.
Eboni bisa membuat Iris tertawa dengan pembicaraan itu. Di sisi lain, apa yang kulakukan? Bermain miniatur hewan dan sejenisnya? Benar-benar anak kecil, tak heran Flin selalu berkata begitu padaku!