Persisnya tentang apa yang terjadi di sana, aku hanya bisa mengira-ngira. Tekanan udara di gudang bekas aula kian meninggi, tetapi tak ada juga keinginan untuk meninggalkan tempat ini. Malah semakin betah berdiam diri.
Sayup-sayup terdengar suara asing—baru muncul di saat kehingarbingaran pembantaian sekaligus penyerangan telah lama menggema—tetapi juga familiar. Mirip rintihan, seperti orang gemetaran.
Aku bersumpah pernah mendengar warna suara itu sebelumnya, bahkan terasa belum lama. Penasaran menguasai, lantas bangkit perlahan guna mencari-cari celah untuk melihat sisi lain—ruang utama—bekas aula.
Dari ventilasi yang terhalang sarang laba-laba dan para hewan kecil, aku mendapati empat orang pria berseragam prajurit KNIL dan seorang gadis muda di tengahnya. Duduk di lantai, kedua tangan diikat di belakang, mengenakan atasan lengan panjang serta kain membentuk semacam rok dengan motif batik serupa dengan yang terlukis di beberapa titik bekas Istana Kerajaan Hirap.
“Putri Geya?” Aku terbelalak. Benar juga, dia tak terlihat sama sekali, termasuk di bangunan tua tadi. Pantas saja Putra Mahkota Pramana terlihat berbeda saat awal-awal bertemu denganku barusan.
Lebih lagi, kalimatnya tadi, “Apa yang Belanda inginkan lagi?” Sudah pasti prajurit KNIL lain lebih dulu menemuinya dan membawa Putri Geya, sedangkan Ria mungkin sudah sempat disembunyikan di bangunan tua—atau entahlah bagaimana kisah sesungguhnya aku tak tahu.
“Saya hendak pulang ….”
Suara lirih setengah merengek Putri Geya, menyadarkanku dari lamunan. Dia tampak tak bergerak sama sekali. Separuh paras dapat kuamati, mata berbinar-binar meminta ampun dan bibirnya mengatup erat, menahan takut.
Seraya gemetaran, Putri Geya perlahan menatap ke kanan-kiri bergantian—aku tersentak saat pupilnya sempat mengarah kemari, andai kami benar-benar sampai berkontak mata, diri ini sungguh dibuat mati membeku—seolah berteriak meminta pertolongan kepada siapa pun yang ada.
Sedikit demi sedikit aku menurunkan kepala, menjauhkan jangkauan mata dari ruang utama bekas aula. Itu tak berguna, usaha Putri Geya. Rakyat sibuk membela diri dari pijakan Belanda, begitu pun para mantan prajurit Kerajaan Hirap.
Seharusnya memang Ria yang datang membela, seperti apa yang dia lakukan biasanya—meski kali ini menghadapi lawan berbeda. Bukan lagi rakyat atau mantan prajurit Kerajaan Hirap yang meminta Jenawi Raja, melainkan sederet pasukan KNIL.
Mau bagaimana pun, itu mustahil. Ria tak akan menyusul untuk melindunginya. Nasib Putri Geya, termasuk piromania Iris, mungkin memang bukan sesuatu yang bisa dihilangkan. Entah mengapa, aku menengok sekali lagi ke ventilasi dan seketika terbelalak.
Putri Geya menatapku. Sungguh, dari celah kecil serta banyak terhalang sarang laba-laba ini, pandangan kami bertemu. Tak ragu lagi, bahkan bisa merasakan ketakutan yang seolah dia bagikan padaku.
“Kenapa … aku?”
Kepala mendadak sakit, spontan menunduk seraya memeganginya. Sesuatu semacam rekaan adegan seketika muncul saat menutup mata. Aku mendapatkan lagi kilasan yang hadir dalam sekian lompatan waktu yang pernah terjadi sebelumnya.
“Hanson …,” gadis muda itu tersenyum padaku.
Kilasan berganti. “Kau melihat Mbakyu?” Itu masih Putri Geya, memandangku dari celah pintu ruangannya.
Kemudian berganti lagi. “Hanson, mengapa kau tak mengusir rakyat dari Istana seperti Belanda lain? Jenderal berkata bahwa aku tak boleh ditemani, bukan masalah kah bila kau kemari?” Dia menghampiri, tampak bertanya-tanya. “Hanson?”
Aku tersentak saat kesadaran kembali. Mengambil napas banyak-banyak. Kaki tanpa sadar melangkah mundur sehingga terpeleset dan jatuh terduduk di lantai. Tersengal, memandang dinding dengan fokus membuyar.
Sebuah kejutan, mengetahui Hanson ternyata kurang lebih memiliki pola pikir sama sepertiku. Dia—atau bisa disebut diri ini—prajurit KNIL yang tak sepenuhnya berpihak kepada Belanda. Diam-diam membelokkan arah kepada para Hirap.
Aku berdiri guna memandang Putri Geya sekali lagi. Dari celah sarang laba-laba, dia yang sebelumnya agak menggeser pandangan, sesaat kemudian kembali padaku. Tak salah lagi, kilasan barusan itu benar.
Putri Geya mengingatkanku pada Iris yang juga memandang seperti itu ketika aku berkata akan menjemput Ria pulang. Gadis itu, lagi-lagi. Aku merasa hampir gila tiap kali memikirkannya.
Tidak, tidak … aku ingin dia musnah dari angan.
Fokusku kembali kepada Putri Geya. Ini aneh. Setelah beberapa kali—meski hanya sekilas-sekilas—aku mendapatinya tertawa, tetapi kini harus melihatnya dilanda ngerti.