Belum apa-apa, seseorang telah menyambut dari dalam bangunan tua. Namun, pemuda bangsawan itu bukan yang diharapkan. Aku membenci bagaimana caranya menatap dengan pupil yang sengaja dibuat mengarah ke bawah, akibat dari kepala yang agak terangkat.
Sial! Dia pikir Putri Paramitadewi yang disembunyikan adalah adiknya? Kan kubuktikan bila itu salah! Aku tak percaya Ria menggantungkan nasib pada pemuda semacam ini, terlebih orang dari masa lalu. Sangat tak masuk akal.
Walau … cara gadis itu menatap Putra Mahkota Pramana memang bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja.. Tetap saja aku—dengan tanpa logika—tak ingin mempercayainya.
“Akan saya katakan di mana Putri Geya. Syaratnya ….” Jemari menggenggam erat hingga tanganku bergetar. Napas yang sedikit berantakan secepat mungkin dibuat stabil kembali. “Biarkan saya berbicara dengan Putri Paramitadewi.”
"Kau sudah berbicara dengan Adikku Paramitadewi sebelumnya.” Puta Mahkota Pramana tak beralih dariku sama sekali, justru kian mengintimidasi dengan aura yang semakin menjadi-jadi. “Melalui jalan sama hanya akan membawamu menuju tujuan serupa pula."
“Kau tak tahu.” Aku terus mencoba memandangnya dengan sorot yang lebih menusuk darinya, meski sesungguhnya lagi-lagi dia berhasil memojokkanku dalam hitungan detik—aku hanya tak ingin mengakui hal ini.
Putra Mahkota Pramana tak bergeming sama sekali. "Itu kata-kata saya."
Kemudian, justru aku dibuat mati kutu olehnya. Mau seperti apa mencoba mengabaikan, tetap gagal. Kalimat pemuda itu menembus sanubari dan menancap erat. Lalu, menggerogoti segelintir tekad yang tersisa.
Pilar penyangga perlahan goyah, aku tahu diri ini akan runtuh bila kian lama menghadap pemuda bangsawan tersebut.
Itu tak boleh terjadi. Percuma saja aku datang kemari bila sudah hancur saat melewati Putra Mahkota Pramana. Lagi pula, dia bukanlah siapa-siapa dan aku akan membuktikan bahwa gadis di sana bukanlah Putri Paramitadewi, melainkan Ria—seseorang yang kukenal jauh lebih baik daripada si pemuda bangsawan itu.
Putra Mahkota Pramana tak mengubah rautnya. Masih tenang, tetapi seolah sedang memandang remeh. "Bagaimana kau tahu tidak akan berakhir diusir dari tempat ini olehku lagi?"
Sial, belum ada sedetik menguatkan tekad, lagi-lagi dia membuatku hampir roboh lagi. Gigi mengatup erat, memendam pikiran buruk di bawah ambisi tanpa logika. "Jika itu benar-benar terjadi lagi, kau boleh memotong kakiku agar bisa memastikan tak akan kembali ke tempat ini."
Putra Mahkota Pramana agak tertegun.
Aku mengambil celah untuk memutar balik situasi—aku merasa kali ini berhasil mendominasi pemuda itu, tetapi entahlah—saat dia lengah barusan. "Kau tahu apa maksud saya, Pramana?"
Pemuda bangsawan itu mengernyit. "Sesungguhnya apa tujuanmu?"
Selangkah mendekat, aku berusaha mempertajam sorot. Mengintimidasi. Namun, itu tipu belaka. Entah dia menyadarinya atau tidak, sesungguhnya aku sama sekali tak terlepas dari cengkraman pemuda bangsawan tersebut.
"Biarkan saya berbicara dengan gadis itu ... untuk kesempatan terakhir!" Terdengar tegas, tetapi lirih. Menyiratkan bendera putih yang diam-diam siap dikibarkan. Sekian kali ini ingin beralih, aku sekuat mempertahankan kontak mata.
Putra Mahkota Pramana memiliki pendirian sendiri, dan dia terlihat teguh. “Saya mengerti tentang Adikku Paramitadewi lebih dari siapa pun. Bercengkrama dengan Belanda sepertimu hanya akan membuang waktu. Kedatanganmu tiada guna—”
Suara tembakan tiba-tiba, menggema bukan main. Tanganku telah terangkat sambil memegang senapan, mengarah lurus ke wajah Putra Mahkota Pramana. Tidak, aku tak menembaknya—peluru mengenai dinding—sekadar ingin dia bungkam.
Napasku menjadi berantakan dalam sekejap. Agak menunduk, seraya menatapnya dengan agak menyipit. Seolah pupil memancarkan cahaya merah dan sekujur tubuh terasa memanas. "Jangan mencampuri urusan pribadi saya dengan gadis itu!"
Masih dengan senapan di tangan, aku mendorong kasar Putra Mahkota Pramana agar menjauh dari pintu. Lantas, menyusuri lorong bangunan tua ini begitu saja. Ketenangan pemuda bangsawan itu akhirnya surut, dan diriku pasti tampak mengerikan bagai iblis bertanduk keluar dari ruangan gelap.
Namun, lagi-lagi itu hanya topeng untuk menutup segalanya di balik amarah. Putra Mahkota Pramana—bisa saja memang—hanya sedikit ketakutan, sedangkan aku sungguh tak punya tempat lagi karena terpojok terlalu jauh olehnya. Bahkan berjalan di antara pintu-pintu pun, tubuh sangat gemetaran.
“Tiada guna.” Kalimat itu mendadak berputar kembali dalam pikiran mengusik hebat-hebat. Aku tak ingin mendengarnya karena menimbulkan ilusi seolah prajurit besar andalan seketika mengalahkanku dalam sekali pukul. Terlebih, kata-kata itu keluar dari mulut Putra Mahkota Pramana. Sosok yang paling mengancam keberadaan—dan pengakuan—diriku di hadapan Ria saat ini.