Suara Putra Mahkota Pramana menggema dalam pikiran. “Tentang siapakah dirimu,” di mata gadis yang kini memandangku—terasa asing padahal aku jelas-jelas tahu bahwa dia Ria. Waktu terasa lambat, angan buruk telah lebih dulu menghantui.
Berselang sebentar, Ria menunduk. “Saya sedikit enggan mengatakan dua kali.” Kemudian sedikit mengangkat kepala, dia menatapku—dengan geram atau kesan buruk lain. “Belanda telah menyengsarakan Hirap, lantas mengapa saya harus mendengarmu, Hanson?”
Mengapa harus nama itu? Sulit dipercaya dia terus menyebutnya. “Aku bukan Hanson ….” Terkesan memelas, tak tersisa banyak tenaga untuk berlagak tegas.
Ria menunduk kembali, dan di saat itu aku menyadari bahwa dia tak mendengarkan sama sekali. Bibirnya terkunci, entah mengapa susah sekali gadis itu menanggapi kehadiranku di sini.
Percuma saja mengelak, semua sudah jelas. Akhir dari kesempatan kedua yang kuambil, sebentar lagi akan terlihat, sedangkan tanda-tanda kabar baiknya kian tipis. Aku semakin gelisah, belum siap menghadapi kejamnya dunia setelah ini—sekarang telah lebih dulu menghantui dalam angan.
Aku tahu peristiwa semacam ini bisa saja terjadi, sehingga sudah lebih dulu berjaga-jaga untuk mencegahnya. Namun, siapa sangka malah terwujud dalam waktu yang terlalu cepat.
Seharusnya aku menuruti ucapan Putra Mahkota Pramana sejak awal. “Melalui jalan sama hanya akan membawamu menuju tujuan serupa pula.” Setidaknya tak akan berakhir seburuk ini.
Semula menghadap Ria dengan satu kaki tertekuk, kini dua-duanya menempel lantai. Duduk tanpa daya di atas lantai bangunan tua. Menunduk. Sepasang tangan menutup wajah sekuat tenaga.
Aku ingin berlari dari segalanya. Ini sangat menyakitkan, terlalu sulit.
Rasanya seperti gila. Semua hancur, kacau. Rantai kuat nan berduri enggan lepas dari sanubari barang sebentar, justru mengikat kian kencang. Kepala pening bukan main, sampai-sampai tak bisa berpikir jernih sama sekali.
Aku tak tahan ingin melepas seluruh rasa sakit ini, tetapi tiada hal bisa dilakukan. Hanya mengandalkan hati nurani dan tanpa menggunakan logika sama sekali, aku perlahan mendekat pada gadis itu. Memeluknya.
Istilah bahwa aku tak layak untuknya, memang benar. Putra Mahkota Pramana jauh lebih baik. Namun, bolehkan sekali saja, pura-pura tak tahu diri—dengan memeluknya—dan berharap memiliki Ria di sisiku seperti dulu, meski mustahil?
Menenggelamkan kepala di sekitar surainya, mendapati aroma wangi khas gadis itu membuatku kian tersiksa. "Gimana bisa aku menjauh darimu lebih lama lagi?" Sama sekali tak ingin merenggangkan dekapan darinya. "Kumohon, kembalilah. Percayalah, aku janji gak akan meninggalkanmu lagi."
Aku rindu saat-saat di mana tangan lembutmu menjadi penopang, dan memberi tempat menangis. Ingin sekali mengulang momen-momen itu. Namun, sekarang saja air mata seolah terbentung kuat. Padahal, aku ingin meluapkan segala beban.
Seakan-akan, aku dilarang untuk merasa tenang, dan harus menerima kesengsaraan ini seumur hidup.
“Bagaimana aku menebus kesalahan padamu?” Tiadanya perkiraan dalam benak tentang kapan Ria bisa kembali, bak jurang tanpa dasar yang melebar dan memisahkan kami berdua. Semakin jauh, hingga gadis itu tak terlihat lagi.
Tidak, aku tak mau itu terjadi. Sekarang mengerti kenapa gelisah menggelayuti sesaat sebelum memasuki ruang, kubus tersebut telah memperingatkanku akan peristiwa ini. Gambaran tentang ucapan perpisahan sebentar lagi, yang menakutkan.
“Lepas.” Putra Mahkota Pramana terdengar sangat tak suka. “Saya sudah berkata sebelumnya, semua yang kau lakukan tiada guna! Cepat pergi dari sini dan jangan kembali lagi.”
Aku berusaha mengabaikan, tetapi suara langkah mendekat tiba-tiba membuat jantung berdetak kencang. Seakan-akan telah menduga apa yang akan terjadi—jelas tak menyenangkan.
“Sebelum saya memaksa.”
Suara pemuda bangsawan itu—mungkin kalimatnya pula—seketika memancing tubuh menggigil. Aku tak tahu bagaimana cara melepas pelukan dari Ria tanpa merasa berat hati. Entah kapan pula bisa meninggalkan ruang kecil nan tua ini dengan langkah tegak, dan tidak perlu menengok ke belakang.
Aku bahkan justru mustahil sanggup melakukan hal itu. Bila sekali lagi harus meninggalkan Ria di sini bersama Putra Mahkota Pramana, aku akan hancur.