Pertengkaran. Perihal beberapa rakyat dan mantan prajurit Kerajaan Hirap yang ternyata juga mencari Pedang Safir—mereka menyebutnya Jenawi Raja. Aku telah lebih dulu termakan oleh pikiran kolot, lalu membentak gadis itu tanpa berpikir dua kali.
Bahkan mengatakan kalimat yang mungkin saja—atau memang iya—menyakitinya waktu itu, “Gak ada harga buat permintaan maaf!”
Lagi-lagi rasa bersalah menghantui. Aku dibuat bungkam dan hanya bisa menggaruk rambut gusar. Karena seharusnya aku yang minta maaf, kalimat tersebut melintas di pikiran begitu saja, juga mana mungkin kuucapkan di depan gadis itu.
Membuang muka dari Ria seraya menahan amarah—pada diri sendiri karena terus saja berbuat tak benar di depannya. Kemudian, beralih ke gadis itu lagi sambil menghela kasar. “Kamu ngambek?”
Perlahan Ria menoleh, hingga tatapan kami bertemu. Bukan seperti bayanganku, dia justru tampak tenang dan senyuman tipis. Kemudian menggeleng. “Ngambek sama kamu di sini cuma bakal mempersulit keadaan. Aku gak mau ngulur-ngulur waktu.”
Ria memasang quiver beserta anak-anak panah, di punggung. Mengangkat busur panah dengan satu tangan. Lalu mendongak sesaat, memberi kode. “Ayo!”
Ternyata perlengkapan itu yang dia ambil sesaat setelah menyusulku kemari. Sedikit terlihat kurang familiar dengannya. “Emang kamu bisa pake itu? Dari mana belajar panahan?”
Ria tak berucap sama sekali. Dia membuka pintu seraya mengedipkan sebelah mata, sebelum melangkah meninggalkan bangunan tua ini lebih dulu. Samar-samar tawa kecilnya juga terdengar.
Aku memutar otak tiada henti, demi memahami maksudnya—tentang rasa percaya dirinya membawa panahan. Namun, kian lama arah tujuan pikiran malah semakin buyar. Berganti oleh pemandangan gadis itu di depan pintu tak lama tadi.
Melipat bibir dan menggigitnya sampai nyeri, tetap saja pada akhirnya senyum mengembang—entah mengapa kali ini aku sangat membencinya. Selain itu, ini terasa aneh. Terlebih lagi, wajahku memanas.
“Woi, tungguin!” Setelah menampar pipi sendiri dan memastikan sikapku akan terlihat biasa kembali, bergegas meninggalkan bangunan tua. Berlari menuju gadis beberapa meter di depan dan para Hirap beserta orang-orang berkulit putih di sana.
Aku menghunus pedang. Menembus perut seorang Jepang, kemudian menarik kencang-kencang. Membuang beberapa tetes darah menciprat ke mana-mana—termasuk paras tampan kesatria Buana Rubanah ini yang kemudian segera kubersihkan.
Menoleh belakang seraya meletakkan tangan di depan Ria sesaat. “Jangan jauh-jauh dariku.”
Pedang Safir sesekali menyala akibat memantulkan cahaya matahari, dan sesaat setelah itu selalu menembus tubuh lawan. Tiada ampun membiarkan darah membanjiri tanah Hirap, oleh orang-orangnya sendiri maupun si pendatang-baru-lima-menit-lalu yang suka mencari masalah.
Kuakui, jumlah pasukan KNIL berkurang drastis. Rakyat dan mantan prajurit juga tersisa sedikit, tetapi masih lebih banyak dibandingkan para Belanda. Sementara Jepang semakin mendominasi.
Senjata orang-orang Jepang memang tak jauh beda dari Belanda, tetapi berbanding terbalik jika membicarakan tentang jumlah. Fakta ini mulai menghantuiku, terlebih tentang berapa lama lagi aku—lebih tepatnya Hanson—bisa berada di sini.
“Kom naar me toe!” Kian sering mengayun Pedang Safir, semakin membara semangat dalam diri. “Jangan ada yang takut setelah mengetahui fakta bahwa aku haus akan darah kalian, Lawan!”
Orang-orang Hirap terlihat sangat terkejut dan seketika keberadaanku menjadi pusat perhatian. Wajar, karena senjata milik Mendiang Raja Ganendra mereka sedang kubawa.
Titik pandang tak beralih dari bekas Aula Kerajaan Hirap di seberang sana. Aku tak peduli lagi beberapa kali lengan, kaki, maupun bagian tubuh lain terkena tombak, anak panah—dari lawan, bukan Ria—bahkan peluru. Bukan masalah karena hanya sedikit menggores dan belum ada yang sanggup memberiku luka parah.
Sesekali aku memang melirik belakang untuk memastikan Ria tetap di mengekor. Namun, kali ini bukan sekadar mencuri-curi, melainkan sungguh menoleh ke arah gadis itu saat sebuah senapan mengarah padanya.
Spontan aku melangkah ke depan Ria, kemudian menampar senjata tersebut menggunakan Pedang Safir. Di saat bersamaan, suara tembakan terdengar dan celana sebelah kiri tersayat—tentu kaki bawahku sedikit terkena peluru.
“Kijk uit wat je doet!” Seraya mengerutkan dua alis karena menahan nyeri—tetapi aku merasa ada alasan lain—mengayun Pedang Safir kencang-kencang. Menyayat dada bagian kanan hingga perut kiri. Tentu saja darah seketika menyebar. “Kau seharusnya memilih sasaran yang lebih baik.”
Aku menepuk lengan Ria sesaat, kemudian beranjak lagi. “Ayo, lanjut!”