Rasanya waktu berjalan lambat saat seisi rumah diam dan hanya suaraku sendiri terdengar. Berputar berulang kali di kepala, seolah semua orang di seluruh dunia menyaksikan. Kemudian akan mengoreksi tiap kesalahan ucapan.
Seluruh perhatian seketika beralih padaku, membuat bergeming seketika. Namun, bergegas mengumpulkan keberanian kembali. “Aku tahu, Eboni kemari bukan karena urusan sekolah.” Suara masih lirih—setidaknya lebih baik daripada diam.
Pria itu langsung bersungut-sungut. Masih mending bila marahnya seperti Flin, aku tinggal mengadukan dia ke Adipati Wilis dan semua beres. Berbeda dengan kali ini, terasa bak hendak diserang, tanpa ada satu pun tempat berlindung.
Nyali ciut seketika. Aku ingin merengek, lalu berlari pulang ke Istana Buana Rubanah. Namun, sesaat setelah tatapan pria itu beralih ke Iris, seketika gejolak memenuhi raga. Tekad mendadak terkumpul kembali, bahkan bertimbun-timbun.
“Mohon jangan menuding Iris! Buka mata dan lihat siapa sebenarnya di antara kita yang bersalah.” Aku mengerutkan alis, tanda tak bercanda. “Eboni datang cuma buat ngasih kue, lalu mereka mengobrol.” Kemudian menggeleng kecil. “Gak ada ngerjain tugas atau sejenisnya.”
Pria itu mungkin akan segera memutar balik kalimat barusan. Itulah mengapa, perlu menyela cepat. “Memang, tujuanku gak jauh berbeda.” Menurunkan nada bicara, sekaligus kian tegas. “Aku bahkan datang lebih dulu dari Eboni.”
Pria itu terdiam sejenak. “Kamu siapa lagi?”
Caranya menatap sangat mengesalkan bagiku. Sama ketika Flin membahas bagaimana bila aku menjadi raja, menggantikan Ayahanda Biiru. Entah mengapa, padahal terlihat sepele, tetapi pandangan itu selalu terpikir.
Menggenggam erat, memantapkan diri. “Aku …,” menoleh ke seseorang di belakang sesaat, “teman Iris.” Sesungguhnya ada jawaban lebih yang ingin kusebutkan, tetapi takut gadis itu tak menyukai.
“Teman? Kalo gitu gak ada bedanya sama Eboni.” Sebelah sudut bibir pria itu terangkat sedikit.
“Berbeda!” Agak memekik, berusaha tegas. “Aku lebih tahu tentang Iris.” Perlahan beralih ke Eboni sebentar, lantas kembali ke pria itu. “Aku lebih sering datang kemari, termasuk ketika gak ada siapa pun di rumah.”
Kalimat barusan mungkin tak akan memperbaiki keadaan saat ini, tetapi tak bisa dipendam lebih lama. “Kurasa itu boleh-boleh saja …,” aku ingin gadis tersebut diperhatikan oleh papanya, “karena Iris kesepian.”
Tak ada lagi senyum tipis bak anak sok keren yang suka merundung. Pria itu menyipit, seakan-akan bisa melihat ke dalam jiwaku—sejenak membuat gemetaran. “Saya gak merasa butuh kamu buat menemani Iris.”
Aku tak tahu ke mana arah berpikir pria itu. Semakin meleset dari jalur, kian gemas ingin menarik ke rute lurus. Kali ini, rasa takut yang kerap menguasai, telah menghilang sepenuhnya.