Seharusnya aku menyadari sejak Putra Mahkota Pramana membawa kami ke Istana Kecil. Terpedaya oleh identitasnya sebagai sosok yang direinkarnasikan Mas Adly, berbagai cara kulakukan agar bisa berada di sisi pemuda tersebut.
Suasana hati yang sudah kacau karena pertengkaran dengan Flin, bertambah parah saat mengetahui pembantaian di sekitar bekas Istana Hirap kian memanas. Semua bercampur menjadi satu, patah hati, kekecewaan, takut, dan gelisah.
Aku tak bisa berpikir jernih sehingga agnosia visual membayang-bayangi. Itulah mengapa semakin mudah aku jatuh ke sisi Putra Mahkota Pramana, bahkan menganggap diri sendiri sebagai Putri Paramitadewi—bukan lagi Sangria.
Gila, yah penyakit yang kuidap memang menyerang mental. Agnosia visual kambuh, tetapi tak sepenuhnya. Mungkin terdengar lebih baik daripada biasa, tetapi nyatanya berbanding terbalik. Aku tak menyangka bisa sampai seperti ini, agak mengerikan.
Kasus agnosia visual kali ini berbeda. Dulu, penyakit tersebut merebut seluruh kewarasan sehingga kesulitan menilai benda apa pun di sekitar. Kali ini aku bisa melihat sekeliling dengan baik, tetapi pikiran masih digelayuti—tak dapat menggunakan logika.
Jika biasanya Flin bisa menyembuhkan penyakit tersebut dengan sentuhan tangan, kali ini lain cerita. Aku tak bisa membayangkan bagaimana bila tak ada Flin, atau mungkin pemuda itu gagal menyadarkanku dari agnosia visual setengah. Apa aku benar-benar akan terjebak?
“Saya mungkin adik Kangmas, tetapi sekarang saya sudah besar.” Aku memandang Putra Mahkota Pramana lekat-lekat. “Bila orang-orang Hirap kesusahan berjuang untuk mempertahankan kerajaan, maka biarkan saya membantu.”
Dia meraih sebelah lengan, pelan dan lembut. Tatapannya juga sangat mendalam, tampak khawatir. “Adikku, di sana berbahaya. Lebih baik tak keluar sebelum situasi membaik.”
Aku tersenyum tipis, lalu menggeleng kecil. “Saya tak punya banyak waktu.”
“Apa yang akan Adikku lakukan? Kita aman di sini, ada saya.” Putra Mahkota Pramana semakin mengeratkan pegangan padaku.
Sedikit ada berat hati untuk menolak ucapannya, tetapi harus dilakukan. Sorot mata berubah sayu, lantas menunduk. “Saya tak bisa. Adikku Geya telah menanti dan tiada seorang diharapkannya selain saya.”
Perlahan, mendongak kembali. “Lagi pula, tempat saya bukan di sini.” Sosok Putri Paramitadewi—yang sesungguhnya—memang akan berbeda jadinya, tetapi sekarang aku sedang bertutur sebagai Sangria.
Putra Mahkota Praman tak lekang dariku sama sekali. Dia terus meminta penjelasan, tetapi tak banyak yang bisa kukatakan. Dia tampak tak paham, dan sampai kapan pun kurasa mustahil bisa mengerti.
Melepas jemari Putra Mahkota Pramana dari lenganku secara perlahan, lalu selangkah mendekat padanya. “Kangmas, ingat saat dahulu kita makan malam bersama di meja istana?”
Sepasang mata berbinar, aku tahu Putra Mahkota Pramana akan mendengar baik-baik—mungkin demi tak membiarkanku pergi.
“Semua yang ada akan tiada. Itu hukum alam dan kita tak bisa menyalahkan siapa pun bila sekarang harus makan diam-diam. Tanpa tertawa bersama, bahkan harus diliputi perasaan tak tenang.” Tentu karena ulah Belanda yang memutar balik nasib Kerajaan Hirap.
“Begitu pun pertemuan. Sesungguhnya saya tak ingat saat masih bayi dan pertama kali memandang wajah Kangmas.” Tawa kecil terdengar. Dalam benak bukanlah Putra Mahkota Pramana, melainkan Mas Adly. “Suatu saat, kita juga akan berpisah … dan mungkin sekarang saatnya.”
“Masih belum.” Nada bicara memelas setengah gelisah, mengisyaratkan jelas akan kata tidak pada perpisahan.
Aku menggeleng lagi. “Sudah dan belum adalah karena diri kita.” Lebih tepatnya tentang, “Merelakan.” Satu kata itu. “Benar, ‘kan, Kangmas?” Memandang Putra Mahkota Pramana, tetapi sesungguhnya sanubari menoleh kepada Mas Adly.
Dari luar, terlihat aku berbicara dengan Putra Mahkota Pramana. Padahal, sejatinya tiap untaian kata yang keluar adalah untuk Mas Adly. Mirip seperti pesan terakhir dan perpisahan yang sebelumnya tak sempat tersampai.
“Di saat terakhir, sebagai anggota keluarga kerajaan ini … saya ingin membela Hirap.” Aku ingin melakukan semua sebisa mungkin demi Iris. “Bukankah ini yang seharusnya dilakukan, terlebih sebagai bangsawan?” Apalagi setelah Mas Adly meninggalkan kami.
Putra Mahkota Pramana menghela napas, antara menyerah dan menurut. Kemudian mengangguk berat hati. “Baiklah … kau boleh pergi.”
Aku tahu, dia sangat sulit melepas Putri Paramitadewi, adiknya, untuk terjun di tengah wilayah Kerajaan Hirap yang sedang panas oleh pertempuran. Namun, tak ada artinya bila aku, sebagai Sangria, berdiam diri di sini.
“Terima kasih, Kangmas.” Mas Adly, kata-kata itu juga tertuju padanya.
Aku harap di atas sana, kau melihat. Mas Adly tahu? Sebuah keberuntungan bertemu Putra Mahkota Pramana, seperti Tuhan memberi kesempatan sekali lagi untuk memandangmu sekaligus memperbaiki sanubari yang belum sempat melepas genggaman erat.
Mas Adly, jangan khawatir dan tenanglah di sana. Kurasa sekarang mulai tak apa, meski tanpa engkau, karena aku memiliki seseorang yang sepertinya bisa menggantikan. Memang belum lebih hebat darimu, tetapi dia sangat baik.
Mas Adly, izinkan aku mengucap selamat tinggal dan membiarkan salah satu pilar yang selama ini tersisa khayalan, benar-benar runtuh—sehingga kau bisa terbang bebas. Merelakan.