Kalimat Putri Geya terngiang di kepala. Menampar keras-keras, seolah aku telah membuat kesalahan besar—atau aku memang melakukannya? Kalut oleh pikiran, sekujur tubuh bak membeku.
Apakah aku memegang panah saat ini benar? Membuat Putri Geya tenang dengan melindungi atau justru sebaliknya?
“Mbakyu!” Putri Geya memekik kencang.
Kesadaranku kembali. Bergegas membidik. Tepat sasaran. Namun, di belakang masih ada empat orang tersisa. Baru sempat memasang anak panah baru, senapan para Jepang telah mengarah kemari.
“Hirap!” Samar-samar teriakan terdengar dari luar.
Seketika napasku berantakan. Tangan gemetaran sehingga titik fokus terus membuyar. Bagaimana cara melakukan release sebelum mereka melepas tembakan? Bisakah aku menghindari peluru? Seorang manusia biasa sepertiku ….
“Hirappu no hitobito? Watashitachi to issho ni kuru!” Salah seorang Jepang yang berada paling depan, perlahan melangkah mendekat. Masih dengan senapan di tangan.
Mendadak seorang Jepang terlempar ke dalam ruangan, menghantam dua orang sehingga ketiganya tergeletak. Tersisa dua, mereka kompak memutar tubuh. Di saat lengah, aku membidik salah satu. Bersamaan, tombak meluncur dari luar, menusuk lainnya.
“Kalian harus mencoba lebih keras.” Seorang pemuda memasuki ruangan. Seraya mengamati satu persatu lawan yang telah tumbang, dia mengambil tombak. Memutar sekali, sebelum memegang erat sambil menghantamkan ujungnya ke lantai sehingga menimbulkan bunyi menggema.
Lantas pemuda itu menoleh ke arah kami. “Tak apa, para Adikku?”
“Kangmas!”
Putra Mahkota Pramana mendadak mengerutkan alis, serius. Memandang keluar pintu sesaat, kemudian beralih ke kami. “Adikku Paramitadewi, kau boleh membantu! Adikku Geya, tetap di situ!”
“Dimengerti!” Bergegas aku meminta Putri Geya agak bersembunyi salah satu sisi dinding. Kemudian bersiap beberapa meter di belakang Putra Mahkota Pramana sambil menyiapkan anak panah.
Langkah kaki terdengar kian kencang, Putra Mahkota Pramana berpindah mengambil ancang-ancang lebih mendekat ke pintu. Seorang Jepang datang, mendapat bidikan anak panah. Rekan di belakangnya, seketika menjadi sasaran ujung tombak.
Lawan memasuki ruangan seolah tiada habis. Aku bisa mengakhiri beberapa orang tepat ketika mereka masih berada di ambang pintu. Sebagian besar yang lolos, menghadap Putra Mahkota Pramana.
Aku perlu dua kali memastikan sebelum melepas anak panah dari bowstring, atau Putra Mahkota Pramana yang sibuk memutar-mutar dan menusuk tombak mungkin saja justru terluka olehku.
Gaya bertarung Putra Mahkota Pramana mengingatkanku pada atraksi tongkat api Sian. Bukan hanya ujung lancip tombak digunakan untuk menusuk. Sisi-sisi lain juga dipakai untuk memukul lawan.
Mereka tumbang satu persatu di hadapan Putra Mahkota Pramana. Namun, saat memeriksa pintu, aku tak bisa tenang sama sekali. Jumlah mereka ….
“Tiada habis!” Putra Mahkota Pramana mengambil napas banyak-banyak, sebelum memutar tombak lagi.
Sisa anak panah di dalam quiver sudah kurang dari setengah. Kecepatan dan kekuatan Putra Mahkota Pramana pun mulai berkurang. Menahan pikiran buruk menghantui benak, aku terus berusaha mengatur titik fokus. Namun, kian sulit karena tangan gemetaran.
Langkah kaki lain samar-samar terdengar, dan secara signifikan bertambah kencang. “Kom op iedereen! Jangan biarkan Jepang mengambil tawanan kita!”
Para Belanda?
Suara tembakan beruntun menggema, seakan-akan tiada habis. Aku menutup telinga menggunakan dua tangan, sambil berjongkok dan menunduk. Sekian detik kemudian, keadaan sekitar mereda.
Dengan napas berantakan, aku memberanikan diri mengangkat kepala. Darah memenuhi ruang, para Jepang telah habis. Menyisakan beberapa Belanda di ambang pintu. Mereka memandang Putra Mahkota Pramana, sorotnya tajam.
“Rakyat Hirap!” Senapan diangkat.
Aku seketika bangkit. “Tidak!”
Baru selangkah, mendadak aku terhenti. Membeku. Satu suara tembakan menggema, disusul seseorang jatuh tak berdaya. Aroma anyir kian memenuhi ruang, membuatku mual. Kain menjadi-jadi saat mengetahui siapa yang tergeletak.
Sekilas aku bisa melihat beberapa Belanda di ambang pintu beralih menatap kemari. “Er is daar Paramitadewi, hoe zit het met haar?”
“Laat haar. Dia tak mungkin macam-macam.” Para Belanda beranjak pergi. Agak menutup pintu bekas aula hingga tersisa sedikit celah. “Kita bisa menawan mereka berdua sekaligus!”
Menggeleng kecil tak percaya, perlahan aku menghampiri Putra Mahkota Pramana. “Bagaimana bisa ….” Paras bersimpah darah itu, kian persis dengan Mas Adly. Meski aku telah merelakannya, melihat sekali lagi dalam kondisi seperti ini tetap sulit.
Berapa kali mengatakan kepada diri sendiri bahwa Putra Mahkota Pramana bukanlah siapa-siapa, tetap saja dia terlihat seperti Mas Adly. Aku seharusnya tak perlu merasa sesak, tetapi batin masih saja tersayat kian dalam. Terus menerus.