Lima detik lalu, diusir oleh papa Iris dari rumahnya. Kini, telah berada di dalam kediaman itu kembali. Kemudian melangkah pelan-pelan, seperti ingin memberi kejutan. Tiba-tiba muncul dari ruang makan. “Aku bilang dengan syarat.”
Pria itu seketika mematung, tampak terheran—aku suka rautnya. Sementara Iris curi-curi pandang padaku, entah apa isi pikirannya, terkesan campur aduk. Sang papa secepat kilat bergaya tenang, dan tentu masih tak mendengarku. “Jangan bercanda, cepat keluar!”
Aku mengangguk santai. Lalu berjalan melewati pria itu begitu saja. Menuju ke sisi depan rumah. Berdiri sejenak di ambang pintu, memastikan dia melihat bahwa aku benar-benar pergi.
Sesaat setelah menutup pintu, aku tertawa kecil. “Mau coba lagi?” Sama seperti yang kulakukan sebelumnya. Membuka portal menuju halaman Istana Kerajaan Buana Rubanah, lantas membuat jalan serupa ke permukaan bumi. Lebih tepatnya di lantai dua kediaman Iris.
Menengok lantai dasar sebentar, masih ada dua orang sama di ruang tengah. Kemudian menuruni tangga. “Penuhi keinginan Iris.”
Sang papa tampak serius, bercampur waspada. Cukup menggelitik, membayangkan betapa bingungnya dia mendapati seseorang terus bermain-main dengan rumah ini. “Iris, dari mana kamu dapat teman kayak gini?”
Tanpa menunggu gadis itu menyahut, aku entengnya berkata, “Mau menyuruh keluar lagi?” Entah mengapa ini sangat menyenangkan. Bahkan senyuman bisa merekah lebar di bibir, dengan sensasi berbunga-bunga memenuhi hati.
“Mumpung saya belum serius, Nak.” Meski lirih, kata-kata pria itu terdengar dalam jarak sekian meter yang memisah kami. Aku tahu dia berniat memojokkkan, tetapi diri ini sudah merasa mendominasi.
Dari tengah anak tangga, aku melompat melewati besi pegangan tangan. Lalu menapak di lantai pertama. “Sampai jumpa sepuluh detik lagi.” Seraya melambai dan tertawa, meninggalkan ruang tengah.
Masih sama, pria itu melirik ke bagian depan rumah, memastikan aku sungguh meninggalkan tempat ini dan menutup pintu. Permainan terus berlanjut, kali ini kubuka portal dari halaman Istana Kerajaan Hirap menuju jendela besar ruang tengah.
Jendela tersebut tertutup tirai, lantas aku menyibaknya semangat. “Halo!” Tak beranjak dari sana, malah bergaya bak putri kerajaan yang malu-malu bersembunyi. “Paman gak mendengarku, syarat—”
Aku tersentak saat pria itu tiba-tiba menarik tanganku. Gelisah menguasai raga dalam hitungan detik sehingga tak sempat melawan sama sekali ketika dibawa menjauh dari ruang tengah.
“Ingat batasanmu, bocah!” Pria itu sangat tegas, walau tak terlalu memekik. Justru terdengar mengerikan. “Saya cuma ngomong sama Iris! Gak perlu ikut-ikut, kamu gak ngerti apa pun!” Dia agak melemparku kasar, melewati ambang pintu.
Menatap lekat tanpa iba, padaku yang—lagi-lagi—hanya bisa tutup mulut. “Sana pergi, main sama temen-temenmu di taman! Kalo dinakalin, nangis aja, ngadu ke mama!” Lalu menutup pintu kencang-kencang, menimbulkan dentuman khas nan menggema.
Apa yang belum kulakukan? Perintah langsung sudah dihindari. Berusaha menguasai keadaan? Malah ditendang pergi. Mengapa terus berakhir seperti ini? Aku hanya ingin menemani Iris.
Aku tak mau bila terus-terusan diam dan membuat Iris menangis!