Sinkronisasi Jiwa

Adinda Amalia
Chapter #54

45 || Flin

Donder op! Donder op, Hanson!” Beberapa prajurit KNIL mendorongku mundur perlahan-lahan. Sesekali menengok belakang—kemari, kemudian menggeser posisi tubuh. Mereka berdiri tepat di depanku. 

Bagaimana aku bisa menceritakan pada mereka? Baru saja melihat orang yang datang dari mana depan? Tak masuk akal!

Napas kian berantakan. Isi kepala semakin sulit dikendalikan. Wajah tentara Jepang yang mirip Pangeran Muda Anilam itu, berputar kembali dalam angan. Aku sama sekali tak terpikir harus melakukan apa, justru dalam batin berharap mengembalikan waktu.

Sekian kali peluru melesat entah dari mana, dan hampir menembus tubuhku. Ingin mengangkat Pedang Safir untuk menusuk lawan, tetapi di saat bersamaan tak bisa berhenti memikirkan bagaimana cara mengatasi permasalahan dengan si Jepang—tentu yang mirip Pangeran Muda Anilam—terlebih tak kunjung mendapat hasil.

Aku justru kalut sendiri. Semua berbenturan, berujung tiada apa pun bisa dilakukan.

Seorang prajurit KNIL menoleh padaku lagi. “Kau tak bisa melakukan apa pun bila seperti ini! Wat is er gebeurd?”

Aku terdiam, tak sanggup merespons. Masih terus melangkah mundur selama para KNIL belum juga mendapati gerak-gerik sehingga terus mendorongku ke belakang. Hingga mendadak tersentak oleh benturan kencang di punggung.

Spontan memutar tubuh guna memastikan ada apa gerangan, ternyata aku hanya menabrak pintu gedung bekas aula Kerajaan Hirap. Semula hendak mengalihkan pandangan, tetapi mengurungkan niat setelah mendapati sesuatu di dalam ruangan.

Ria ada di sana, memeluk Putri Geya yang tergeletak di lantai. Bisa saja dia sedang membujuknya seperti biasa, tetapi ini sedikit aneh. Gadis itu cenderung diam, aku juga tak mendengar sepatah kata terucap.

Sial, jangan bilang agnosia visual kambuh lagi!

Apa yang akan dia lakukan di sana? Mematung selamanya? Itu mustahil! Keadaan tak akan membaik—telah tertulis di Buku Hirap—bahkan dengan mata sendiri aku memastikan pasukan Belanda kian surut. Sementara Jepang sebaliknya.

Bila begini artinya percuma saja aku kembali! Semua akan berakhir seperti prediksi Raja Ganendra bahwa semua orang Hirap, termasuk Putri Paramitadewi—Ria—tak akan selamat.

Tidak! Aku tak ingin! Hanya dengan membayangkan peristiwa itu terjadi saja, dada sudah terasa sesak.

Getaran dari batin terdalam, samar-samar muncul, lalu kian kuat. Seolah membisik, agar aku bergegas memasuki ruang. Tatapan tertuju ke satu arah, tanpa menoleh sama sekali. “Ria!”

Masa bodoh dengan menipisnya pertahanan KNIL maupun si Jepang mirip Pangeran Muda Anilam yang tak mungkin diam saja, aku mana mungkin mengabaikan Ria! Gadis itu yang terpenting saat ini, dua hal lain tersebut bisa dipikirkan lagi nanti.

Lagi pula, tentang si Jepang itu, sudah terlanjur terjadi. Aku tak bisa mengubah apa pun. Mengulur waktu lebih lama di sini hanya akan semakin menurunkan kemungkinan kami bisa pulang dengan baik-baik saja.

Selama Pedang Safir sudah di tangan dan Ria tak bisa melakukan apa pun lagi—Putri Geya berlumur darah dan kupastikan dia telah tiada—mau seperti apa hasilnya, kurasa hal terbaik adalah segera kembali.  

“Kamu gak apa-apa? Sadarlah!” Begitu jarak kami cukup dekat, aku langsung menarik gadis itu menjauh dari tubuh Putri Geya, lalu memeluknya erat. “Ada aku di sini ….” Ikut berusaha menenangkan diri, kueratkan dekapan pada gadis itu seraya menstabilkan napas.

Tak sedetik pun ingin melepaskan. Bayang-bayang Ria menjadi seseorang berbeda seperti terakhir kali agnosia visual kambuh, menguasai benak bukan main. Mengerikan. Aku tak bisa melawan pikiran tersebut, juga tak ingin itu menjadi kenyataan.

“Kumohon ….” Meraih surai Ria perlahan, membuat wajah gadis itu tenggelam di pundakku. Detak jantung berpacu kian kencang seiring khawatir menjadi-jadi. Sama sekali belum siap bila harus meninggalkannya sebagai kenangan belaka. “Kembalilah.”

Seketika ingin mengumpat keras-keras pada diri sendiri—karena merasa takut, saat menyadari seseorang berhasil mendobrak pertahanan para KNIL di depan bekas aula dan kini berdiri di ambang pintu.

Aku menengok belakang. Si Jepang yang mirip Pangeran Muda Anilam. 

Tatapan kami bertemu sekejap kemudian. Sorotnya memperlihatkan jelas kebencian yang seolah terakumulasi dari seratus orang. Wajah memerah bak siap meledak kapan saja. Semua itu tertuju ke satu arah jelas—diwakili oleh senapan terangkat—padaku.

Aku tanpa sadar menahan napas, sekujur tubuh mati rasa. Pelatuk lebih dulu ditarik dan dalam sepersekian detik, peluru akan menembusku. Tiada waktu tersisa, sama seperti anak panah waktu itu.

Bahkan kali ini lebih parah. Jarum jam terasa melambat, aku bisa melihat benda kecil tajam yang barusan melesat dari ujung senapan tersebut, tersisa sekian meter dari kepala. Spontan, aku memejam erat.

Dua tembakan beruntun membuat bunyi menggema seisi ruang kian kencang. Merasa tak terjadi apa pun, aku membuka mata perlahan. Seketika tersentak, kengerian sirna seiring terbelalak kian lebar.

Gemerincing lirih mengiringi dua peluru yang terjatuh ke lantai. Putra Mahkota Pramana sedikit mengangkat tubuh dari posisi berbaring penuh darah—sebelumnya kupikir dia telah tiada.

Lihat selengkapnya