Dari ruang kosong tanpa hal apa pun perlu dilakukan, mendadak terasa sesuatu barusan menabrakku. Namun, sekeliling masih putih bersih, juga tanpa suara. Hanya ada aku sendirian. Berselang sebentar, perlahan nyaman menggelayuti. Seperti sesuatu yang familiar telah datang.
“Ada aku di sini ….”
Sentuhan lembut di kepala dan punggung, tak ingin kutolak sama sekali. Samar-samar kegaduhan oleh bahasa asing sahut-sahutan mulai terdengar. Dinding ruangan di sekeliling kian jelas terlihat, berhias bercak merah di segala sisi.
Namun, anehnya keadaan itu tak membuatku terancam sama sekali. Kengerian akibat kekacauan tersebut sudah terbendung oleh dekapan erat yang membuatku tenang, bak memiliki sosok pelindung. “Flin ….”
“Pangeran Sian, buka kembali Portal Titian!”
Tiba-tiba aku berhembus kencang. Mengambil alih kami dari tanah bumi. Samar-samar, terlihat Hanson jatuh tergeletak setelah tertembak oleh seorang Jepang di ambang pintu. Berselang sebentar, Putri Paramitadewi dibuat tumbang orang yang sama.
Angin membawa kami agar ikut beterbangan kian tinggi. Kini, aku mendapati wilayah sekitar bekas istana kerajaan yang kian dipenuhi oleh Jepang. Sementara Belanda maupun orang-orang Hirap menipis.
Puluhan tong menyebar dari sekeliling bekas Istana Kerajaan Hirap, jalanan, hingga aula. Salah satu meledak, lalu segera menyambar lainnya. Api menguasai kedua bangunan secepat kilat. Melahap habis.
Api.
Piromania?
Mungkin karena itu. Dari sekian macam gangguan jiwa, Iris mendapatkannya.
Angin kencang terus membawa kami kian jauh. Kerajaan Hirap tak lagi terlihat. Kini seakan-akan terjebak dalam pusaran besar. Tak ada lagi kegaduhan maupun pemandangan penuh darah. Hanya tersisa aku, Flin, dan kedamaian.
“Kenapa mukamu begitu?”
Aku sedikit tersentak saat Flin mendadak menyeka pipi—dan entah sejak kapan dia membawa sapu tangan—dan bagian wajah lain. Benar juga, aku terkena darah Putri Geya saat memeluk gadis itu.
Ngomong-ngomong, sudah berapa lama pemuda ini mendekapku? Dasar, dia selalu saja berbuat sesukanya.
Semula kukira dia hanya bisa kasar, baik ucapan maupun tindakan. Ternyata, dia bisa mengusap sapu tangan itu ke wajahku dengan lembut. Bahkan dia telaten dan bukan sembarangan membersihkan bercak darah.
Sesungguhnya, aku tak suka Flin melakukan ini, dia tak perlu mencampuri urusan. Namun, aku belum juga bisa mengutarakan penolakan karena sanubari terus menghalau, entah mengapa—atau mungkin sudah ada alasan, hanya saja enggan mengakuinya..
Flin masih orang yang sama bagiku, menyebalkan. Meski begitu, di sisi lain aku tak bisa mengelak fakta bahwa dia telah membantu mengatasi agnosia visual. Sampai sekian kali, terus-menerus, dan kian sering.
Dia semakin mirip Mas Adly.
Perlahan menoleh ke pemuda itu, aku mendapati satu hal lagi yang tak kalah mengejutkan. Ini pertama kalinya Flin memandangku dengan cara berbeda. Dia sedikit sayu, membuang jauh-jauh kesan menyebalkan. Juga mendalam, memancar aura hangat samar-samar.
Aku tak tahu mengapa, tetapi batin terus membisik … bolehkah meminta dia agar tak melepas pandangan itu?
Rasa yang sama ketika Mas Adly masih berada di genggaman, persis seperti sekarang. Flin, kian meyakinkan bahwa dia memang benar-benar bisa menggantikannya, dan aku … tak bisa berbohong bila menginginkan hal itu.
Aku nyaman berada di dekat Flin.
Tak ingin kehilangannya.
Memahami pelan-pelan bagaimana sanubari sesungguhnya memandang Flin, wajahku memanas. Jantung berdetak kencang saat membayangkan dia hanya menjadi ksatria untukku seorang.
“Kenapa?” Flin berhenti menyeka. Sepertinya wajahku memerah—kali ini bukan karena darah—dia tahu itu. Sebelah bibirnya terangkat sedikit, lalu menyimpan sapu tangan kembali.
Aku membuang muka ke segala arah. Tak ingin menanggapinya. Ketika perasaan mulai terkendali, aku baru menyadari bahwa pundak pemuda itu berbekas darah. “Kamu terluka?”
Flin ikut melirik pundaknya. “Aku gak apa-apa.”
Usai bak melayang-layang di tengah pusaran angin besar, kini terasa sensasi tarikan seolah terjatuh dari ketinggian. Sumber cahaya di bawah semula terlihat kecil, kemudian membesar hingga sekeliling menyilaukan.
Sekejap kemudian, kami keluar pintu langit-langit terbuka. Flin menapak di lantai gudang dengan sempurna, sambil masih mendekapku erat. Sekian detik setelahnya, baru dia melepas perlahan dan memastikan aku dapat berdiri tanpa bantuan.
Perhatianku beralih dari Flin saat suara pintu ditutup kasar terdengar. Sekilas terlihat, Sian baru saja meninggalkan ruangan. Flin bergegas menyusul, sedangkan aku belum beranjak sama sekali. Menyipit seraya mengamati sekitar lekat-lekat. Sesuatu terasa berbeda.
Samar-samar terdengar suara beberapa orang asing, saling bersahutan. Cahaya dari celah jendela dan ventilasi lebih menyilaukan dibanding biasa. Aroma benda terbakar sesekali tercium.
“Ada yang gak beres.” Terlebih, dari pintu terbuka usai Flin menyusul Sian, pemandangan di luar tak seperti lorong rumah yang terakhir kali kulihat. Bergegas meninggalkan ruang, seketika aku mematung saat matahari terang-terang menyinari langsung dari langit.
Aku tersentak saat kaki tak sengaja menginjak benda kecil. Saat menunduk untuk memastikan, seketika terbelalak. Puing-puing bangunan terserakan di mana-mana, berlapis abu.