“Agnosia visual sekarang kambuh semudah itu?”
Suara familiar seorang pemuda menyadarkanku dari ruang putih nan kosong. Semua kembali seperti semula. Puing-puing berlapis abu. Hampir seluruh bangunan telah hancur, kecuali gudang.
“Flin?” Aku memegang kepala. Siapa sangka penyakit ini menjadi semakin gila. Bukan sekadar terganggu dalam pengenali objek secara visual, pemandangan yang kulihat dari mata benar-benar berubah. Terlebih, tak muncul gejala sama sekali dan langsung kambuh di tingkat keparahan tinggi.
“Padahal aku baru pergi sebentar, gak ada lima meter! Dasar!” Flin melangkah mendekat, lalu menjitak dahiku.
Aku merintih sakit, lantas mendengus dan membuang muka darinya. Aku baru saja ingin berterima kasih karena dia membantu menyembuhkan agnosia visual barusan, tetapi lebih baik mengurungkan niat. Flin sangat menyebalkan.
“Oh ya.” Flin berkacak pinggang. “Kamu ingat kata-kataku dulu?”
Dia menyinggung tentang membangun rumah tangga—maksudnya, rumah baru?