“Putraku. Hendak memeriksa pelataran belakang?”
Saya membatalkan niat untuk membuka pintu ruangan pribadi. Rama memang berkata seperti itu, tetapi sepertinya ada maksud lain. Dia telah lebih dulu berjalan, lalu saya segera mengikuti.
Hal ini terasa aneh. Padahal, Rama biasa bercakap-cakap usai makan malam, saat ada Adikku Paramitadewi dan Adikku Geya. Namun, kali ini justru hanya saya yang diajak berbicara.
“Putraku tahu sesuatu?” Sampai di pelataran belakang Istana Kerajaan Hirap, Rama berdiri seraya meletakkan dua tangan di belakang punggung. Mengamati rerumputan dan pohon-pohon jauh di sana.
Saya memandang Rama dalam-dalam. Memang benar bila di batin ini, ada isyarat kurang mengenakkan. Kedatangan Belanda belum lama ini tidak lumrah, mereka seperti menyimpan sesuatu.
“Mengapa Rama melarang saya menemui Belanda sejak awal?” Meski sesungguhnya, saya pun ingin bergerak diam-diam. Menyelidiki mereka. Bahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Hirap, aura para bermata biru itu memberi kesan licik.
“Putraku Pramana.”
Saya tersadar dari lamunan oleh panggilan barusan. Dia berbalik guna menengok kemari. Tatapannya sedalam samudra, sesuatu yang jarang sekali terlihat. “Sebelum menandatangani surat kerja sama dengan Belanda, Rama kira ada sesuatu yang perlu dilakukan.”
Perlahan terbelalak. Taksiran saya benar, Hirap tak lagi aman karena pendatang kali ini adalah ancaman. Bahkan Rama merasakan hal serupa. Saya mendengar baik-baik arahannya, kemudian segera melaksanakan.
“Meminta izin, Rama.” Saya menunduk sebentar, sebelum meninggalkan pelataran belakang. Tumpahan jingga telah meninggalkan tanah Hirap. Sebentar lagi gelap, tak banyak waktu tersisa.
Putraku Pramana tahu, kita memiliki petak aman.
Saya tak mengira harus ke sana, tetapi ini jalan terakhir. Merapikan semua tanda kehadiran sang putra mahkota ini dari istana, menjadikan satu di beberapa buntalan agar mudah dibawa.
Namun, sebelum itu, saya menghampiri dua orang di ruang bersantai keluarga kerajaan. “Adikku Paramitadewi, Adikku Geya. Periksalah jalanan sekitar istana. Kemudian laporkan pada Rama Ganendra. Bisa tolong kalian lakukan itu untukku?”
“Dilaksanakan, Kangmas Pramana!” Keduanya cepat-cepat bangkit dari duduk.
“Jangan lupa minta didampingi para prajurit Hirap! Walau mereka meninggalkan penjagaan sisi belakang istana untuk sementara, tak apa-apa!”
“Dimengerti, Kangmas Pramana!” Keduanya kompak.
Tanpa sadar saya tersenyum tipis. Mereka anak-anak yang baik, tak bisa membayangkan bila keadaan tiba-tiba berbalik sepenuhnya. Lantas mau bagaimana lagi? Ini sudah cara terbaik yang bisa saya dan Rama tindak lanjuti.
Rama ingin Putraku Pramana menjadi senjata rahasia bagi Hirap.
Gorden menutup jendela besar di ruang bersantai keluarga kerajaan. Saya menyibak sedikit, curi pandang akan pekarangan luas dengan area latihan memanah di sisi kiri, lalu pohon-pohon besar menutupi bangunan kecil sekian meter jauhnya.