Sinkronisasi Jiwa

Adinda Amalia
Chapter #59

Epilog 04 || Angin

Mereka bilang, senang karena aku membawa sejuk. Mereka menangis, karena aku menghancurkan apa pun di atas tanah. Terkadang sepoi-sepoi, ada kala berhembus kencang. Dari satu tempat, menuju titik lain di bumi.

Semula, hanya menyangka bahwa semua yang kulewati dan lihat sekadar kebetulan acak belaka. Namun, kebakaran hari itu yang entah mengapa menarik perhatian, ternyata adalah permulaan kisah bersambung.

Cukup menggelitik, tong-tong berisi minyak membakar bangunan besar—sepertinya istana kerajaan, tetapi menyisakan satu ruangan kecil yang lucunya lagi memiliki empat pintu tanpa gagang. Seolah dibuat dengan sengaja agar tak terlihat.

Puluhan orang selamat dari kebakaran itu memiliki pakaian yang sama, membawa senapan, dan berbicara menggunakan salah satu bahasa di Asia Timur—aku tak hafal yang mana karena ada banyak sekali di bagian benua tersebut.

Ima, kono tochi wa watashitachi no monodesu.

Selain itu, ada satu korban selamat yang tidak mengenakan seragam seperti mereka. Seorang pemuda. Dia sangat menyedihkan, baju penuh darah, berjalan sempoyongan di belakang pohon-pohon yang kebanyakan patah.

Namun, kesempatanku melihat tak lama. Aku hanya berhembus selama setengah menit di atas sisa kebakaran tersebut, sebelum akhirnya terbang menuju tempat lain.

Beberapa hari kemudian, tak disangka topan besar membuat lajuku berputar balik sehingga kembali menuju tempat yang dulu terbakar itu. Orang-orang Asia Timur yang saat itu selamat, sekarang sepertinya menguasai wilayah tersebut.

Sekian meter darinya, ada banyak rumah kecil yang tak terawat. Sepertinya kosong karena tak ada tanda-tanda penghuni di sekitar situ. Aku terkejut saat seorang pemuda membuka salah satu pintu, mengintip ke luar dari dalam.

Kebetulan arah hembusanku menuju ke bawah, semakin dekat dengan permukaan bumi. Memiliki kesempatan mengamati pemuda itu lebih baik, aku hampir tak percaya dia adalah satu-satunya korban selamat kebakaran dulu yang tak memakai seragam seperti para orang Asia Timur.

“Mereka pikir semua Hirap telah musnah? Padahal putra mahkotanya, Pramana, masih ada di sini.” Dia bergumam. Namun, dengan arah laju yang sedekat ini dengannya, aku bisa mendengar jelas.

Penampilan pemuda itu setidaknya lebih baik daripada terakhir kali aku melihatnya. Tak ada lagi bercak darah, hanya bekas luka di beberapa bagian tubuh. Aku tak yakin, tetapi dia kemungkinan bersembunyi dari para orang Asia Timur guna bertahan hidup.

Hembusan sendiri yang tak bisa dikendalikan, lagi-lagi membuatku pergi dari tempat itu. Setiap saat terus bergerak, menyusuri bumi. Terkadang tinggi bersama awan, ada kalanya turun hingga menyentuh hamparan tanah.

Mungkin ada sekitar dua tahun, perjalanan tiada henti mengelilingi cakrawala terasa. Hingga akhirnya aku sampai di tempat yang sama seperti dulu. Bekas kebakaran. Satu-satunya ruangan yang selamat itu masih dibiarkan berdiri. Sementara sekeliling rata dengan tanah, belum ada tanda-tanda akan dibangun sesuatu.

Tak jauh, ada sungai sungai lebar membentang. Memisahkan wilayah yang dipenuhi oleh orang Asia Timur itu dengan daerah lain didominasi para keturunan Eropa. Menariknya, ada si pemuda, Pramana, di salah satu bangunan-bangunan.

Di dekat pintu terdapat tulisan ‘Medayu Agem’ dan penjagaan ketat oleh para keturunan Eropa itu. Sementara jauh di bagian belakang, sepertinya gudang, Pramana kulihat menyelinap.

Beruntung sekali dari celah jendela gudang, laju hembusanku melewatinya sehingga dapat melihat apa yang dilakukan Pramana di sana. Dari tumpukan buku, ada dua yang menarik perhatian pemuda itu.

Hirap: De Originele Verhalen

Hirap

Pramana cekatan membuka buku yang berjudul lebih pendek. Membolak-balik halaman, sepertinya dia juga membaca cepat tiap baris tulisan di sana. Kemudian berhenti sekian detik di sebuah lembaran.

Berselang sebentar, Pramana merobek satu lembar tersebut dari Buku Hirap. “Dapat!” Lantas, dia bergegas meninggalkan gudang. Pintu yang dibuka olehnya, membuat hembusanku keluar dari ruangan tersebut pula.

Entah kebetulan atau apa, padahal lajuku tak pernah bisa dikendalikan, tetapi kali ini arahnya sama dengan ke mana Pramana pergi. Saat dia melewati pepohonan tinggi di samping Medayu Agem, sayup-sayup terdengar pembicaraan para keturunan Eropa itu.

“Hirap: De Originele Verhalen. Buku yang itu?”

“Iya. Jurnalis, penulis, dan sastrawan kita bekerja keras untuk menyempurnakannya. Menulis semua tentang Hirap!”

“Sungguh? Semua? Isinya lengkap?”

“Lengkap … bagi kita! Sudahlah, berhenti bicara! Buku itu dan semua berkas tentang Kerajaan Hirap, bawa kembali ke The Netherlands. Jangan sampai ada yang tertinggal!”

Kemudian aku tak mendengar lagi. Pramana kian menjauh dari Medayu Agem. Begitu pun laju hembusanku yang masih mengikutinya—secara ajaib, mungkin memang kebetulan yang beruntung.

Lihat selengkapnya