“Bagus juga rumah barumu.”
Aku nyaris melempar ponsel dari tangan. Tak ada bel atau apa pun, tiba-tiba pintu terbuka bahkan seseorang sudah menggeledah ruang tamu. “Seenggaknya ketuk pintu kayak tamu kek, masih mending! Malah asal masuk aja!”
“Kenapa emang? Kan aku yang beliin, sewot.” Flin tak menatapku sama sekali, justru sibuk mengamati isi lemari dari pintu kacanya. Hanya miniatur-miniatur hewan kecil milik Iris—tentu saja itu baru karena yang lama telah habis terbakar, sisanya kosong.
Aku semula terdiam karena malas beradu mulut dengan pemuda itu. Namun kemudian, alasan itu berubah. Ucapan Flin melintas di benak lagi, “Kan aku yang beliin.” Mengapa itu terdengar aneh? Seperti … seperti … bagaimana ya. Emm, itulah, semua orang pasti tahu. Aku tak ingin menjelaskannya.
Aku berdehem. Sedikit membuang muka, berjaga-jaga agar pemuda itu tak melihat semisal pipi merona. “Da—dari mana kamu?”
“Latihan.”
Saat menengok, tiba-tiba ruang tamu sudah sepi begitu saja. Aku sendirian. Sampai akhirnya mendapati pemuda itu kini menjelajah hingga ruang tengah. “Flin!” Memekik seraya bangkit, bergegas menyusul. “Lancang!”
Flin menuang air dari dispenser. Meminumnya, kemudian mengembalikan gelas tanpa rasa bersalah. Sekadar menatapku dengan wajah datar.
Dia masih saja menyebalkan, tak ada sekali saja bertemu tanpa memancing emosi. Aku mendecak. “Emang di Buana Rubanah gak ada air minum apa?”
Aku hendak mengomel lebih panjang lebar lagi. Namun, memutuskan diam sejenak saat mendadak terpikir sesuatu. Lantas menyipit penuh selidik. “Sebenarnya nih … selama ini Buana Rubanah beneran ada?”
“Kamu mau lihat?” Satu kalimat, pemuda itu membuatku tersentak. Sorot matanya berubah tajam, tetapi kali ini berbeda dari biasa—ada kesan serius dan bukan sekadar ingin mengintimidasi. “Boleh.” Dia tampak seperti menerima tantangan tanpa takut.
Aku tak pernah bergeming oleh cara Flin memandang. Anehnya, sekarang tiba-tiba pemuda itu memberi efek campur aduk hingga membuatku mematung. Ditambah, detak jantung menjadi berantakan.
“Kalo gitu sekalian aja.”
Flin enteng berucap barusan, justru membuat pikiranku beterbangan. “Se … sekalian apa?”
Bunyi bel rumah merebut perhatian. “Sebentar!” Aku terpaksa meninggalkan Flin di ruang tengah, guna menuju pintu dan mengecek siapa gerangan datang. Terbelalak sesaat, kemudian senyum merekah. “Sian!”
“Iris di rumah? Aku pengen mengajaknya ke kota. Katanya di sana ada taman yang bagus?” Lelaki imut itu kian antusias. “Apa bener, Sangria?”
“Raja Sian.” Flin menyusul kami berdua.
Si lelaki imut memaksa senyum mengembang dan sedikit mengangkat dua tangan saat menyadari gerak-gerik Flin yang mulai merendahkan tubuh. “Gak perlu.”
Aku menarik kerah kemeja Flin sebelum dia benar-benar berlutut di dekat ambang pintu rumahku—ini akan gawat bila Iris melihatnya. “Kan sudah dibilang Sian, gak usah!” Lagi pula, ini dipermukaan bumi, bukan Buana Rubanah.
Aku mengabaikan ocehan Flin yang tak terima akan perlakuan barusan. Lebih tertarik dengan Sian. “Taman Kota emang jadi salah satu destinasi wisata terbaik.”
Sudut bibir lelaki itu terangkat kian lebar. Matanya sampai menyipit karena pipi tembamnya ikut mengembang. Dia tertawa girang seraya melompat—aku hampir tak percaya bila dia sekarang seorang raja. “Tolong panggilkan Iris!” Pipi merona kian menambah gemas.
Akhirnya terwujudlah acara dadakan kami. Sian pergi bersama Iris mengunjungi Taman Kota, sedangkan Flin mengajakku ke Buana Rubanah.
Aku tak terkejut saat Flin membuka semacam portal berbentuk lingkaran berwarna hitam pekat dengan keliling biru nan mengkilap. Sensasinya tak seperti melewati Portal Titian sehingga aku merasa baik-baik saja.
Sekejap setelah melompat ke dalam portal, sudah menapak di tempat berbeda. Aku membuka mulut tak percaya, terbelalak oleh pemandangan sekitar.
“Ini halaman depan Istana Kerajaan Buana Rubanah.”
Kukira mirip dengan Istana Kerajaan Hirap, ternyata perkiraan meleset total.
Luas lahan berhias rumput ini nyaris saja dengan keseluruhan area perumahan tempatku tinggal. Ada puluhan jalan setapak—dan satu yang utama berukuran lebih lebar sendiri berada di tengah—mengarah ke pintu setinggi tiga meter di depan istana.
Dari ujung kiri ke kanan bangunan, sepertinya mencapai enam ratus meter. Jumlah lantai, kuperkirakan ada sepuluh. Terdapat pelataran menjorok, dijaga oleh para kesatria—aku yakin akan identitas mereka karena penampilannya mirip Flin.
Terdapat tangga di dua sisi istana, langsung menghubungkan halaman depan dengan balkon lantai dua. Ngomong-ngomong soal itu, aku baru menyadari bahwa di sini juga ada kolam ikan besar dengan air mancur di tengahnya.