Angin Plawangan malam itu terasa beda. Bukan cuma dingin—ada sesuatu yang kayak mencengkram dari jauh. Mungkin karena jauh di bawah sana, dunia masih sibuk jadi tempat yang rapuh.
Api unggun kecil menyala tenang, membuat cahaya oranye yang lembut di mata Corey dan Helen. Dari posisi mereka, Segara Anak cuma terlihat sebagai bayangan gelap besar, seperti mangkuk dunia yang siap menampung rahasia.
Helen merapatkan jaketnya. “Ree… kenapa lu diem dari tadi?”
Corey lagi natap langit, lama banget, sampai-sampai Helen mikir dia lagi ngitung bintang satu-satu. “Gue lagi mikirin masa depan,” jawabnya pelan.
“Masa depan atau masa depan versi ujian Sintas?”
“… yang kedua.”
Helen mendengus kecil. “Distopia?”
“Hel, itu bukan lagi distopia. Itu real. Indonesia bakal chaos total.”
Helen akhirnya duduk lebih dekat. “Oke, gue ngerti. Jelasin yang ada di pikiran lu.”
Corey nahan napas, lalu mulai.
“Gue pengen bangun organisasi mandiri pangan. Bukan komunitas doang—bener-bener sistem. Orang-orang kita ajarin cara nanem, ternak kecil, bikin kebun vertikal, sampai produksi garam sendiri. Kalau suplai makanan nasional tumbang, mereka tetap bisa hidup.”
Helen menatapnya lama. Ada kagum di matanya, tapi juga takut. ”Core… itu gede banget….”
“Makanya gue mulai dari yang kecil dulu. Dari desa-desa yang paling rentan. Gue pengen bikin pusat pengawetan makanan alami—kayak sun-dried, fermentasi, salting. Nggak semua orang bisa punya freezer kalau listrik mati berminggu-minggu.”
Helen terdiam. Suara api unggun meletup kecil. “Gue kira lo cuma nulis rencana iseng.”
“Nggak, Hel. Gue serius. Mama Papa ternyata udah mulai semuanya. Tante bilang sebentar lagi gue yang harus ngelola usaha pengawetan makanan milik mereka. Masih kecil-kecilan, sih. Dan….” Corey nahan jemarinya sendiri, “… gue juga butuh modal gede.”
Helen sudah bisa nebak arahnya. “Modal gede… maksud lo—”
Corey memotong, suaranya lebih rendah. “Gue mau ambil tawaran sponsor itu. Jadi pembalap.”
Helen langsung menegakkan badan. “COREY. Enggak!”
“Hel….”
“Gak.”
“Helen, dengerin dulu.”
Helen geleng cepat. “Itu bahaya! Lu tau itu. Pembalap, Ree? Kalo lo kecelakaan—”
“Gue nggak sembarangan,” Corey geser badan dikit ke depan, natap Helen penuh. “Sponsor itu gede banget. Dalam lima tahun aja gue bisa ngumpulin modal buat bikin mini forest, pusat riset pangan, bahkan… ngajak lo backpackeran keliling dunia sebelum semuanya berubah.”
Helen terdiam. Wajahnya berubah dari marah ke bingung lalu sedih kemudian sayang banget sampai nggak bisa protes.
Corey nerusin, hati-hati. “Gue nggak mau hidup cuma nunggu bencana. Tapi gue juga nggak mau nanti kita nyesel karena nggak siap.” Dia melirik Helen. “Dan backpackeran… itu bukan mimpi lu doang. Sekarang itu jadi mimpi kita.”
Helen menghela napas panjang. “Ree… gue nggak mau kehilangan lu.”
“Gue juga nggak mau kehilangan lu.” Corey meraih tangan Helen. “Makanya gue cerita jujur. Gue mau minta izin lu. Restu lu.”
Helen nunduk, suaranya pelan tapi sedikit gemetar. “Gue bukan ngelarang karena egois. Gue ngelarang karena gue takut lu hilang sebelum distopia itu datang. Itu artinya distopia buat gue, Ree. Lu tahu, kan… gue paling benci genre itu?”
Corey menggenggam tangan Helen lebih erat. “Kalo dunia ambruk, gue mau jadi orang yang masih bisa lindungin lu. Dan orang-orang lain. Dan gue cuma bisa capai itu kalau gue punya modal, pengalaman, dan koneksi.”
Helen diam. Air matanya nggak jatuh, tapi matanya terlalu bening. Tujuan Corey jelas ga salah. Tapi caranya terlalu beresiko. “Emang ga ada cara lain apa?” kata Helen pelan. Dia nyeka ujung mata dan hidungnya yang mulai berair.
“Hel….” Corey condongin badan, kening hampir nyentuh kening Helen. “Lu boleh takut. Tapi gue pengen lu percaya sama niat gue. Sekarang cuma ini jalan yang memungkinkan.”
Helen nutup mata. Lama banget buat menata perasaan.
Akhirnya dia ngomong, suaranya kecil tapi tegas, “Terusin….”
Corey kaget. “Hel—”
“Terusin, Ree. Lakuin semua yang lu bilang. Bangun organisasi itu. Bikin pengawetan makanan. Tanam hutan mini. Kumpulin modal.”
Helen narik napas. “Gue izinin lu balap. Tapi lu harus pulang dengan selamat. Setiap kali.”