Sore hari yang mendung bikin kelembaban udara naik. Helmy ngecek suhu udara di smartphone. Tiga puluh satu derajat celcius. Helmy langsung ngambil surat undangan yang ada di meja, kipas-kipasin muka dan keluar.
Di luar, Helen lagi bersihin kandang kecil berukuran 60 x 60 cm. Tiap mau libur, cewek itu pasti kerjanya bawa pulang kandang besi buat dicuci.
“Len…,” kata Helmy yang duduk di teras sambil lihatin adeknya, ”Corey kemana dah? Kok, ga bisa dihubungi dari kemarin? Sibuk mulu.” Tangan Helmy ga berhenti ngipas.
“Dia lagi sibuk persiapan buat masuk F4,” kata Helen. Tangannya berhenti nyikat terus mengambil selang dan menyiram kandang penuh busa.
“F4?” Alis Helmy naik sebelah.
“Formula 4.”
“Hah?” Helmy menegakkan badan. “Maksudnya balapan?”
Helen cuma ngangguk kecil tanpa menghentikan aktivitasnya.
“Busettt… katanya mau nyari duit. Tuh bocah malah buang duit,” ucap Helmy sedikit kesel. Kemarin-kemarin Corey ditawarin jadi guide gak mau dengan alasan mau kerja yang duitnya gede.
“Dia ditawarin sponsor, Bang,” bela Helen.
“Emang dia ga ketuaan buat mulai? Pembalap Formula tuh ga gampang, Hel.” Helmy mendekati Helen yang udah mulai ngelapin kandang.
Helen mendesah. Entah harus cerita mulai darimana.
Corey mewarisi darah pembalap dari Papanya. Papa Corey pensiun dari F2 buat menjalani ekspedisi bersama Mama Corey.
Jaman kegelapan Corey—waktu orang tuanya meninggal—Corey rajin balap liar sama Naser dkk. Helen tahu belakangan ini ternyata Corey masih sering balap liar diam-diam di daerah pegunungan. Trek ekstrem dengan tikungan tajam dan turunan curam.
“Waktu papanya masih hidup, dia sering diajak main gokart,” kata Helen. “Pas kemarin ke Rinjani, tiba-tiba aja Corey bilang mau seriusin balapan.”
“Terus yang ngurus Rimbun Mandiri siapa?” tanya Helmy yang khawatir dengan keberlanjutan NGO ketahanan pangan yang udah jalan setahunan itu.
“Banyak volunteer alumni Sintas yang ngurusin, Bang. Termasuk gue sama Miss Molly.”
Helen meletakkan kandang yang udah bersih di garasi. Kemudian dia duduk di kursi sebelah abangnya.
“Helena….”
Helen nengok ke abangnya. Biasanya kalau udah manggil nama lengkap begitu, Helmy bakal ngobrol serius.
“Lu yakin ngijinin pacar lu balapan? Resikonya ga main-main loh.” Helmy meletakkan surat undangan yang masih rapi tersegel di tangannya ke meja kemudian menatap tajam adiknya.
Helen memandang lurus ke depan kemudian menarik lututnya ke dada. “Gimana lagi, Bang? Corey bersikeras. Gue ga mau ngekang.” Ditariknya napas kemudian ditahan sejenak.
”Lagian, hasil balapnya bakal modalin organisasi yang emang butuh banget duit kalo mau berkembang.”
“Lu udah rela kalo Corey kenapa-napa?”
“Bang!” Helen nurunin kakinya. “Jangan nakut-nakutin gue, dong!” Tangan Helen megang pinggiran meja erat.
“Gue gak nakut-nakutin. Cuma ngingetin.” Bang Hel kembali ngambil surat undangan dan ngipasin badan.
“Sebenernya gue takut, Bang,” ucap Helen dengan nada pelan banget.
“Takut mah wajar. Kalo lu seneng justru mencurigakan.”
Helen memelototi Helmy yang cuma cekikikan melihat reaksi adeknya itu.
“Kalo gitu lu pacaran sama leher baja, dong?” goda Helmy. Sengaja, soalnya muka Helen udah mau mewek.
“Paan, sih, Bang!?” Helen cemberut.
“Lah… iya. Liat aja nanti kalo lu meluk Corey pasti berasa meluk tiang listrik. Gimana rasanya, ya… meluk leher besi?”
“Abang!!!” Helen melempar sendal jepit yang dia pake ke arah Helmy. Tapi abangnya itu cekatan menghindar.
Helmy buru-buru masuk ke dalam rumah untuk menghindari amukan Helen yang wajahnya udah panas membara.
Helen balik lagi ngangkat kaki ke kursi dan meletakkan dagu di lutut. Matanya melihat kandang kucing hutan yang udah kinclong tapi pikirannya penuh dengan Corey.
Iseng, Helen buka hp dan mengetik latihan khusus pembalap formula. Tiba-tiba aja matanya melebar dan dadanya mulai gak karuan. Helen ga pernah ngira kalau latihan atlet formula seekstrem itu.
***
“Tirta… kayaknya lu perlu tinggal sama gue selama latihan intens,” ujar James sehabis sesi latihan simulator Corey minggu kedua selesai. “Biar lu bisa mulai pagi-pagi.”
Corey mengangkat wajah tidak suka. “Jangan panggil itu. Gue udah bilang, kan?” kata Corey tegas.
“Suka ga suka biasain. Kalau masuk F4 nama yang disablon di baju lu itu Tirtabuana. Ngerti?”
Corey diam karena tahu kalau James benar. Nama belakang umum digunakan untuk memanggil seseorang di dunia barat.
“Gimana?” James mengangkat alis.