SINTAS

Keita Puspa
Chapter #2

2. KERJA KELOMPOK


Karena kegilaan Corey di jaman kapur, aku, Sharon, Chester dan Joel mendapatkan nilai A plus. Mr. Matt bilang kalau tulang-tulang kami begitu segar dan utuh. Dia bilang kami pasti menanti seekor predator melahap habis makhluk purba itu. Dan tidak ada satu pun dari kami yang menceritakan kejadian sebenarnya.

Padahal kalau ditelaah lagi bukankah tyranosaurus rex adalah predator puncak? Apakah mereka kanibal? Atau predator lain seperti charcarodontosaurus atau spinosaurus yang memangsanya? Kalau pun iya, sebenarnya terlalu aneh mengingat daerah teritori mereka berjauhan.

“Lu overthinking!” seru Chester seraya menyentil jidatku. “Tugasnya hanya mengambil tulang dinosaurus. Spesies apa atau bagaimana mereka mati, selama Mr. Matt tidak menjelaskannya berarti bagaimanapun itu boleh aja.”

Kuelus kening yang berdenyut sembari melirik Chester dengan sebal. “Tapi… apa benar Corey yang membunuhnya?” tanyaku berbisik.

“Hel… jika itu yang dikatakan Corey berarti itu benar. Bukannya lu dulu satu SMP sama dia? Masa gak tahu, sih kelakuan temen sendiri?” Sharon datang dengan semangkuk seblak yang mengepulkan asap berbau cabai dan kencur yang menusuk.

Aku tidak bisa mengatakan apapun. Dulu kami memang satu sekolah. Sekolah normal maksudnya. Corey dan aku tidak terlalu akrab. Memang sih beberapa kali kami satu kelompok ketika mengerjakan tugas. Tapi gak ada yang aneh sama cowok yang diam-diam punya tato di pundak itu. Corey anaknya kalem dan gak neko-neko. Dia terlihat seperti siswa normal. Kenakalannya sebatas merokok dan membuat tato saja. Dia tidak pernah terlibat tawuran antar pelajar meski dulu sekolah kami terkenal sebagai langganan tawuran SMP.

Ketika masuk SMA Sintas ini sebenarnya aku sedikit terkejut mendapati Corey juga di sekolah ini. Bukan apa-apa… tapi kukira, atau bahkan semua orang menduga, kalau Corey akan masuk SMA Negeri favorit. Corey berada di peringkat tiga nasional. Tidak kusangka kalau orang tuanya memilih SMA Sintas yang sangat underrated. Tapi di sini aku melihat sisi lain Corey. Dia sedikit… mengerikan. Mungkin aku baru tahu saja sisi yang itu dan di SMP aku hanya melihat satu saja sisi dirinya.

Asal tahu saja, SMA Sintas hanyalah formalitas. Di sini beberapa murid harus mengikuti kurikulum yang amat sangat berbeda dari sekolah umum. Kemarin adalah contoh nyata di mana para murid harus memasuki gerbang waktu untuk menyelesaikan tugas. Tidak ada sekolah umum yang memiliki gerbang waktu tapi SMA Sintas punya.

“Tidak apa-apa. Selama dia tidak melukai orang maka kita gak perlu takut, Hel. Ya, kan, Ches?” ucap Sharon menyadarkanku kalau kami sedang ada di warung depan sekolah

“Ya… iya juga, sih,” ucapku tidak mau ambil pusing. Mungkin kata Chester benar. Aku memang overthinking.

“Bulan depan giliran tugas Miss Molly loh!” seru Sharon antusias.

Jelas Sharon suka dengan gaya mengajar Miss Molly yang sangat Gen Z itu. Dari semua guru, Miss Molly lah yang paling fashionable dan up to date. Bahkan ada desas-desus yang berasal dari kakak kelas kalau Miss Molly adalah orang yang berasal dari masa depan. Tapi gosip lain berkata kalau Miss Molly adalah cenayang yang dapat melihat yang akan terjadi di masa depan. Bahkan Joel pernah bilang kalau Miss Molly telah hidup berabad-abad dan ia adalah seorang penyihir yang tersisa dari abad pertengahan Eropa.

Teori terakhir adalah yang paling tidak masuk akal. Miss Molly memiliki fitur genetik khas Jawa. Kulit sawo matang, rambut hitam lurus, dan mata belo coklat tua. Bahkan meski lancar berbahasa Inggris dan Latin tetapi logat Miss Molly sangat medok. Tidak ada fitur Eropa dalam dirinya, meski memang semua orang mengakui kalau Miss Molly itu cantik banget.

“Ya, namanya juga udah berpuluh tahun tinggal di Jawa. Pasti ke-Eropa-annya memudar,” kilah Joel kala itu. Jelas saja teori yang ia ungkapkan paling jauh dari kebenaran. Lagipula sepertinya teori itu karangannya sendiri.

“Setelah guru-guru yang membosankan akhirnya guru yang menyenangkan dataaaang!” Sharon menyeruput kuah seblaknya hingga habis dan bersendawa puas.

Chester meliriknya dengan sedikit jijik. “Cewek masa gitu banget!”

“Dih! Masih jaman banding-bandingin cewek-cowok?” kata Sharon kemudian mengacuhkan Chester. “Helen… lihat deh ini!” Sharon menunjukkan layar smartphone-nya padaku. Sebuah video pendek dari sebuah sosial media diputarnya. Terlihat sebuah salon yang baru dibuka dengan fasilitas lengkap dan suasana cozy tengah mengobral jasanya. “Ayo, kita ke sana! Gue mau warnain rambut.”

“Shar… lu ga kasian apa sama nih rambut?” Kuraih beberapa helai rambut pirang Sharon yang kaku dan kasar. “Mending perawatan rambut aja daripada diwarnain lagi." 

Lihat selengkapnya