SINTAS

Keita Puspa
Chapter #3

3. ABANG MARAH

Sejak kemarin aku sudah mempersiapkan diri kalau kerja kelompok kali ini akan kacau balau. Nilai yang bisa tercapai paling-paling hanya C+. itu pun jika aku bisa bekerja sama dengan baik bersama Corey. Mengingat Corey rasanya sedikit membuat tidak nyaman. Kemarin ketika akhirnya aku keluar kelas dengan kepala pusing, kutemukan Billy yang meringis mengelus bahunya. Kutebak suara hantaman kemarin adalah tubuh gempal Billy yang didorong oleh Corey yang terdengar sangat marah. Billy yang berbobot delapan puluh kilogram itu sepertinya bisa dengan mudah Corey hantam ke tembok. Tentu saja membunuh t-rex tidak lagi mustahil baginya.

“Oh, lu di sini?”

Seluruh bulu tengkukku mendadak berdiri tegak seperti paskibraka yang memberi hormat pada bendera kebangsaan yang sedang dikerek naik.

“Billy dan Tya sudah menunggu di perpus, tuh!” katanya kalem. Seperti Corey jaman-jaman SMP dulu.

Susah payah kulengkungkan bibir kemudian menatapnya sekilas. Semoga dia tidak tahu kalau aku menghindari tatapapn matanya. “Okey,” ucapku tidak mampu mengatakan lebih. Tapi diam-diam otakku menemukan satu kejanggalan. Billy sedang menunggu di perpus. Billy? Kulirik Corey yang sedang berjalan di sampingku. Apa dia tidak salah?

Aku sungguh terkejut dan bahagia sekaligus mendapati Billy dan Tya benar-benar sedang duduk menunggu kami. Sebuah keajaiban! Tadinya kukira akan berdua saja dengan si pembunuh t-rex. Ternyata Tuhan sebaik itu.

“Jadi… menurut catatan alumni dari sejak sekolah ini bediri, sekitar 12 persen lulusannya menjadi tour guide, 24 persen adalah pemadam kebakaran, 21 persen adalah tim SAR dan 15 persen adalah petani?” ucap Tya heran dengan apa yang baru saja ia ucapkan. “Petani?” tanyanya seraya melihat ke arahku, Corey dan Billy.

“Kupikir tidak ada yang ingin jadi petani jaman sekarang,” ucap Billy dengan kening berkerut.

“Sementara yang kita ketahui para alumni dari sekolah kita adalah pejabat dan orang penting lainnya hanya sekitar enam persen saja,” kata Corey serius.

“Jadi… sekolah kita ini tujuannya untuk menciptakan sumber daya manusia yang berhubungan dengan menyelamatkan?” ucapku tak yakin.

“Lihat ini…!” Billy menunjukkan selembar kertas dengan data-data tour guide. “Rata-rata mereka adalah guide tour untuk naik gunung."

Tya merebut kertas dari tangan Billy kemudian matanya berbinar. “Delapan puluh tiga persen dari mereka,” katanya kemudian.

Kusodorkan juga secarik kertas ke tengah meja. “Sepuluh persen adalah sukarelawan perang.” Ini jelas fakta yang cukup mencengangkan. Bagaimana mungkin kami yang masuk SMA Sintas dijejali oleh lulusannya yang menjadi orang sukses kaya raya mendapati kalau sembilan puluh persen dari lulusan Sintas berprofesi seperti itu. Jelas saja penghasilan sembilan puluh persen lebih orang itu tidak lebih dari UMR. Kami semua bertukar pandang.

“Tarik garis lurus dari profesi-profesi yang dominan itu,” kata Corey seraya merapikan kertas di meja menjadi sejajar.

“Lu udah tahu dari awal, kan, R--Core?” tanyaku menatap tajam Corey. Cowok itu hanya tersenyum kecil. Untung saja aku tidak kelepasan memanggilnya Ree. Semoga Corey tidak menaruh dendam padaku. Sudah jelas aku bakal jadi manusia penyet kalau sampai dia menyimpan dendam. Tiga tahun lebih aku selalu memanggilnya dengan sebutan yang tidak ia sukai itu.

“Sial! Harusnya tugas ini tidak pernah ada,” Tya melempar kertasnya ke udara. "Gue masuk sini biar jadi punya relasi orang penting."

“Memangnya garis lurus dari profesi mereka semua apa?” tanya Billy dengan wajah polos.

“Lu tahu tugas tim SAR sama damkar?” tanyaku menatap Billy yang lemot. Kasihan.

“Menyelamatkan orang?” jawabnya ragu yang langsung diiyakan oleh Tya dengan anggukan mantap. “Kalau gitu kenapa ga banyak yang jadi polisi?”

Kami bertiga tertawa. Corey bahkan sampai mengeluarkan air mata. Sementara Billy masih kebingungan.

“Mereka menyelamatkan dan sisanya tentang kepedulian. Peduli dengan alam. Petani, tour guide… mereka adalah pecinta alam.” Tya tampak berpikir keras. “Keselamatan dan alam?”

Survival. Sekolah ini adalah tempat kita menempa ilmu untuk bertahan hidup!” ucapku sedikit tercengang karena baru menyadarinya. Padahal sejak awal masuk semua tugas adalah perkara bertahan hidup. Awalnya mungkin seperti ikut pramuka secara wajib dan intens. Tetapi keseluruhannya selalu mengharuskan kami untuk tetap bertahan hidup. Padahal dari namanya aja udah Sintas, Helen!

“Lu catet itu, Hel!” perintah Tya.

Tanpa menunda kucatat semua yang telah kami diskusikan. Aku sangat terharu karena tugsa ini bisa selesai dengan satu kali pertemuan saja. Dengan durasi yang sangat singkat pula tanpa bertele-tele. Sepertinya Tuhan tidak mempersulitku. Malah memudahkanku.

Pukul lima sore kami berempat keluar dari perpustakaan. Mataku menangkap sosok Riri tengah berdiri menunggu bus. Aku ingat benar kalau Riri dan Sharon satu kelompok. Jadi aku memanggilnya dan berteriak, “Ri!!! RiRi!”

Namun secara tak terduga Corey yang berjalan beberapa langkah di depanku berbalik dan berkata, “Ada apa?”

Kulihat Riri melambai di halte sana tetapi jelas Corey tidak bisa diabaikan begitu saja. “Itu… bukan lu, Core. Maksud gue Riri,” ucapku seraya menunjuk Riri. Riri adalah satu dari segelintir nama yang masih Indonesia banget di masa ini. Kalian tahu lah nama kami sudah kebarat-baratan.

Lihat selengkapnya