SINTAS

Keita Puspa
Chapter #6

6. TERPISAH

Tidak ada tugas yang tidak berbahaya. Seharusnya itu menjadi semacam tagline untuk sekolah ini. Tugas berbahaya pertamaku adalah ketika kami harus membantu korban kebakaran sebuah gedung diskotik. Entah tahun berapa itu tapi yang jelas itu masa lalu. Aku dan timku harus menyelamatkan seorang petugas kebersihan yang terjebak di basement. Hari itu kelompokku berhasil setelah kami menerjang api di bawah karung goni basah. Tidak ada yang terluka berat. Hanya beberapa luka lecet dan sedikit luka bakar yang sembuh seminggu kemudian. Namun, Joel dari kelompok lain mendapat luka cukup serius di kaki hingga ia cuti sekolah selama beberapa minggu.

Setelahnya tidak ada yang mendapat luka serius setelah tugas. Lecet dan memar adalah hal biasa. Setelah tugas lapangan selesai, kami akan melakukan medical check up dan mendapatkan perawatan. Sejauh ini semua hal baik-baik saja. Ketika menjalankan tugas Mr. Matt pun tidak ada murid yang mendapatkan luka serius. Tapi bang Hel setiap malam mengirimku pesan untuk segera pindah sekolah. Ini sedikit menjengkelkan. Entah bang Hel mendapatkan informasi dari mana tapi sepertinya informasi yang didapatkannya salah.

“Kalian sudah siap?” tanya Miss Molly padaku, Corey, Billy dan Tya.

Kutatap satu per satu anggota kelompok yang Miss Molly namakan Pendaki 4. seperti biasa aku selalu agak gugup untuk memasuki cermin yang menjadi gerbang waktu di hadapan kami. Tetapi sepertinya ketiga teman kelompokku yang lain terlihat tenang.

“Jangan gugup, Helena,” ucap Corey pelan. Tapi perkataannya yang menunjukkan kalau kecemasanku terlihat malah membuatku semakin cemas hingga tanpa sadar kugigit bibirku.

Tya dan Billy sudah lenyap ditelan cermin raksasa yang berbentuk pentagon itu. Tubuhku belum bisa bergerak meski aku terus memerintahkan untuk melangkah. Kenapa di saat seperti ini tubuhku tak bisa diajak kerjasama. Jika jeda waktunya terlalu lama maka kami akan terpisah jauh.

“Ayo!” Tiba-tiba Corey menarik lenganku sehingga kami berdua masuk ke dalam cermin. Kemudian suara burung-burung menyambut kami. Kutatap vegetasi hutan yang rapat. Matahari tidak dapat menembus rapatnya daun-daun di atas kami. 

Lenganku perih. Corey menarikku di tempat yang sama. Luka kemarin belum sembuh benar.

“Kenapa lu bengong, sih? Billy dan Tya jadi ga kelihatan dimana,” kata Corey.

“Maaf,” ucapku seraya melepaskan tangan Corey dari lenganku.

“Jarak kita cuma beberapa detik. Mereka pasti tidak jauh dari sini,” kata Corey lagi. Dia benar-benar tidak peduli denganku yang sedikit meringis. Apa itu juga sengaja?

Aku hanya mengangguk mendengar perkataanya yang masuk akal. Kulihat Corey mengeluarkan kompas. Kemudian dihelanya napas panjang. “Kukira mereka ada di pinggir sungai,” ucap Corey.

“Sungai? Berarti… sekitar 5 km dari sini?” tanyaku tak percaya. Kuintip peta yang tengah Corey bentangkan. Dia hanya melirikku kemudian kembali melihat peta.

“Kita bisa memotong menembus bukit itu.” Corey menunjuk sebuah bukit kecil di arah selatan.

“Tapi itu berbahaya. Kita gak tahu hewan apa yang masih di hidup di sana,” kataku cepat.

“Paling-paling macan kumbang,” ujar Corey enteng. “Dan ular piton.” Corey terkekeh. Senang sekali sepertinya.

“Sebaiknya kita tetap di jalur pendakian,” ucapku kekeh. Jika kami berempat, aku mungkin tidak akan terlalu khawatir tapi sekarang kami hanya berdua.

“Mereka belum tentu diam menunggu kita. Bagaimana kalau mereka bergerak dan saat kita tiba di sungai mereka sudah tidak ada?” Corey menoleh padaku dengan wajah serius.

“Tapi-”

“Lagipula siapa yang telat memasuki gerbang sehingga kita terpisah?”

Corey benar-benar membungkam mulutku. Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantah. Pada akhirnya kakiku melangkah di belakang punggungnya yang tinggi. Corey menggunakan parang untuk memangkas dahan dan daun-daun yang menghalangi jalan.

Benar-benar perjalanan yang tidak kubayangkan. Kami seperti dua orang yang sedang mengadakan ekspedisi untuk membuka jalur pendakian. 

“Pakai ini!” Corey memberiku sebuah bungkusan kecil berisi sesuatu berbentuk pasta dengan bau menyengat yang tidak enak.

“Apa ini?” kututup hidung.

“Pake aja. Di sini masih banyak pacet. Lu gak mau kehabisan darah disedot sama sodaranya lintah itu, kan?” Corey mengoleskan pasta itu ke seluruh permukaan kulitnya yang terbuka.

Tubuhku bergidik. Kulihat sekeliling, hijau dan lembap. Sesuatu di balik dedaunan bergerak. Aku bergegas mengikuti apa yang Corey lakukan. 

“Muka lu belum rata!” Tangan Corey tanpa permisi mengoleskan pasta cokelat hitam itu di pipi dan dahiku. “Pakein muka gue, dong!”

Kuambil pasta itu ke tangan. “Lu jongkok, dong, Core!” perintahku. Tanganku memang kesulitan menggapai wajah Corey yang tinggi. Corey segera merendahkan diri dengan membungkuk. 

“Udah?” tanyanya. Aku hanya mengangguk. “Udah belom?” tanyanya lagi.

Lihat selengkapnya