SINTAS

Keita Puspa
Chapter #7

7. ASAP

“Corey!!! Lu masih hidup, kan?” Keringat dingin tiba-tiba membanjiriku. Hati-hati kudekati bibir jurang yang tertutup semak rapat. Tanganku gemetar memegang senter, menyoroti dasar jurang yang gelap. Hanya ada tebing batu dan beberapa tumbuhan yang berhasil menaklukan kerasnya bebatuan. Samar terlihat aliran air sungai di dasarnya.

“Corey! Please, jawab gue kalau lu masih hidup!” Suaraku bergema dan terdengar mengejek. Pipiku terasa hangat dan basah. Aku tidak bisa menahannya. “Lu gak mungkin mati gitu aja, kan, Ree?” ucapku putus asa karena tidak menemukan tanda-tanda Corey dari bawah sana. “Seorang pembunuh t-rex tidak mungkin mati oleh babi hutan, kan? Lu gak bakal ninggalin gue sendirian tanpa makanan, kan, Ree?”

Dadaku rasanya sesak. Bagaimana jika Corey benar-benar mati? Aku tidak berencana untuk menjelajahi hutan yang belum terjamah sendirian. Aku tidak cukup percaya diri untuk bisa menemukan makanan apa yang aman dan tidak untuk dikonsumsi. Berapa lama aku bisa menemukan Billy dan Tya tanpa si pembunuh t-rex?

“Hel!”

Samar kudengar suara dari bawah sana. Kupasang telinga baik-baik. Itu memang dia! Kuhapus air mata dan mulai kembali ke bibir jurang dan menyoroti seadanya.

“Corey! Lu selamat?” teriakku. “Lu di sebelah mana?” tanyaku lagi dengan jantung yang berdetak kencang. Kuharap ketika aku berbalik, Corey akan ada tepat di belakangku. Namun suaranya jelas terdengar jauh di bawah sana.

“Gue gak apa-apa!” balas Corey. “Lu jangan kemana-mana. Besok gue bikin tanda asap, lu samperin gue!” teriak Corey.

Namun setelahnya senyap. Telah kucoba berteriak berkali-kali memanggil Corey lagi tetapi tidak ada jawaban. Keadaan sunyi senyap kecuali beberapa suara binatang malam dan sedikit suara air di bawah.

Pikiranku tiba-tiba kacau. Apakah itu benar suara Corey atau hanya halusinasi? Apa yang harus kulakukan sekarang? Bahkan aku tidak punya air minum.

Kutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Tenang, Helen… tenang!” Setelah beberapa tarikan napas, kuambil pisau lipat dari saku. Kupetik sebuah daun yang cukup lebar. Kemudian kupotong sebuah dahan pohon yang kecil dan menampung air yang keluar ke dalam daun lebar yang telah kuikat. Setidaknya besok aku mendapatkan air. Jika besok ada tanda-tanda dari Corey, aku akan ke sana tetapi jika tidak maka aku akan mencari Tya dan Billy untuk meminta bantuan agar mencari Corey.



Semakin malam udara di hutan semakin dingin. Selimut yang kubawa tak cukup tebal untuk menghangatkan tubuh yang sebenarnya sudah mengenakan jaket windbreaker. Segaja tidak kubuat api unggun. Api di malam hari sangat bisa menarik hewan-hewan buas mendekat. Jadi terpaksa aku menahan hawa dingin yang menusuk tulang hingga pagi. Sialnya mataku tidak bisa memejam meski keadaan gelap gulita. Berkali aku pindah dari duduk bersandar di pohon, naik ke cabang pohon hingga meringkuk di antara akar pohon. Tetap saja mataku tidak terpejam. Memikirkan bagaimana keadaan Corey membuat otakku terjaga semalaman. Ditambah suara-suara bang Hel yang mengatakan secara tidak langsung bahwa ada murid SMA Sintas yang meninggal ketika mengerjakan tugas.

Ketika langit timur mulai sedikit bercahaya, kuputuskan untuk merapikan selimut dan bergerak. Kuminum air yang kutampung semalam di daun lebar. Tidak banyak tapi aku harus cukup puas. Lagipula di bawah sana ada sungai. Setelah minum kupanjat sebuah pohon yang cukup tinggi. Tidak mudah, apalagi dengan keadaanku sekarang. Namun karena aku merasa harus menemukan dan menyelamatkan Corey, maka akhirnya aku berada di cabang yang cukup tinggi. Kuperhatikan sekeliling untuk mencari asap yang membumbung tetapi nihil. Mungkin masih terlalu pagi. Akhirnya kuputuskan mencari jalan untuk sampai ke bibir sungai. 

Lihat selengkapnya