Hampir pukul tujuh malam. Cuaca sedikit mendung ketika tim SAR berhasil menyusul kami di Kalimati. Kami berhenti sebentar untuk mengisi air minum. Karena gerimis dan kabut tipis turun, tim memutuskan untuk mendirikan tenda dan beristirahat. Para cowok sibuk mendirikan tenda sementara aku dan Sharon membantu memasak makan malam.
Kami berkumpul di depan api unggun untuk mendengar arahan ketua tim. Sebagai anak magang, kami cuma perlu mendengarkan arahan dan melaksanakannya sebaik mungkin. Setelahnya kami bubar.
Chester, Tya dan Billy ikut rombongan menyisir jurang terdekat. Sementara aku dan Sharon berjaga di tenda bersama beberapa orang, termasuk bang Hel yang sedari tadi mengawasi gerak-gerikku.
“Hel… pacar lu, tuh! Dari tadi ngeliatin lu mulu.” Sharon menyenggolku sedikit keras.
Aku memandang Sharon jengkel. “Itu abang gue,” jawabku datar.
“Abang? Kok, lu ga cerita, sih, kalo punya kakak ganteng!” Sharon menyenggol bahuku keras.
Kupandangi lagi wajah Sharon. Dengan wajahnya yang putih, bibir mungil dan hidung mancung itu kukira standar Sharon cukup tinggi. Tapi ternyata bang Hel masuk kategori ganteng juga buat cewek blasteran ini.
“Lu gak mau gitu comblangin gue sama abang lu?” Mata Sharon kedap-kedip seperti lampu sein.
“Usaha sendiri, dong! Lagian bukannya lu lagi deketin Chester?” Kututup wajah Sharon dengan telapak tangan agar matanya yang centil itu tidak melukai mataku. Tapi Sharon langsung menepis tanganku.
“Chester kayaknya tertarik sama cewek lain,” ujar Sharon sambil manyun.
“Oh… gitu,” sahutku pelan.
Gak lama terdengar suara radio dari pinggang bang Hel. Abangku yang bertubuh tegap itu berdiri, membuat Sharon menatapnya tanpa kedip. Tapi muka bang Hel kelihatan tegang banget. Dia segera menugaskan kami untuk membuat tandu darurat. Dengan cekatan aku dan Sharon mengambil tali dan ikut membuat beberapa simpul yang menghubungkan dua batang bambu.
Setelah berdoa bersama, aku, Sharon, bang Hel dan keempat tim SAR lain pun pergi naik. Ternyata agak sulit juga mengimbangi kecepatan tim SAR naik gunung. Sementara napasku dan Sharon hampir habis mereka tetap terlihat tenang.
“Kalian berdua tunggu di sini aja,” kata bang Hel setelah beberapa kali kedapatan melirikku terus.
Aku hendak menolak ketika dengan cepat bang Hel bilang, “Tunggu! Di sini!” Telunjuknya jelas mengarah lurus ke tanah tempatnya berpijak. Kemudian ia pergi dengan timnya membawa tandu darurat, segulung tali dan juga beberapa peralatan keselamatan lain.
Sharon menarikku untuk duduk bersamanya di dekat sebuah batu. Area batas vegetasi ini terlihat gersang. Jalanan di atas sana berkelok-kelok seperti labirin. Terlihat kokoh tapi sesungguhnya sangat rapuh. Dua jebakan mematikan. Kalian bisa tersesat dan jatuh ke jurang jika salah memilih jalur. Atau kalian bisa menginjak pasir labil dan jatuh berguling ke bawah. Bonus bebatuan yang jatuh dari atas karena terinjak oleh pendaki lain.
“Hel….” Sharon menggoyangkan lenganku.
Kuikuti kemana arah matanya. Dari salah satu jalan terjal berkelok itu tim SAR muncul dengan tandu yang terisi. Ditutupi dengan kain seadanya. Aku dan Sharon berdiri menunggu mereka. Mataku tertuju pada sesuatu di tas tandu. Terbujur kaku dengan darah menyelimuti tubuhnya. Ketika tandu itu lewat di depanku, salah satu tangannya terjulur dan kain penutupnya terbuka menampakkan bagian dadanya yang terbuka. Wajahnya baik-baik saja tetapi leher hingga dada terkoyak.
“Terjatuh ke dalam jurang dari ketinggian sekitar seratus meter,” ucap salah seorang tim SAR yang naik duluan sebelum kami.
Tubuhku tersentak ke belakang. Wajah orang itu tiba-tiba berubah menjadi Corey! Kukedipkan mata dan kugoyangkan kepala.
“Lu gak papa, Hel?” tanya Sharon seraya menahan tubuhku yang terasa berat.
Wajah mayat itu kembali berubah. “Gak. Gak papa, Shar,” jawabku. Perasaan bersalah itu kembali menjebakku ke dalam perasaan yang menjengkelkan. Aku harus tahu bagaimana keadaan Corey sekarang!
***
Aku berdiri di ambang pintu. Ragu-ragu akan membukanya atau tidak. Sekali lagi kulirik nomor yang terpampang di atas pintu. A-201 D. Tidak salah lagi. Suster Nia bilang Corey ada di ruang Anggrek 201 D. Setelah pulang dari Semeru, seperti biasa kami akan melakukan medical check up. Dokter menyatakan bahwa aku baik-baik saja jadi kuputuskan untuk kemari.
“Eh, mau masuk, ya. Silakan. Udah selesai, kok!” Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang perawat berpakaian hijau keluar dengan mendorong troli berisi obat-obatan. Aroma alkohol tercium tajam bahkan ketika perawat itu sudah jauh. Aku melangkah masuk dan mendapati Corey sedang berbaring membelakangi. Selang infus masih tersambung ke tangannya.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Atau jangan-jangan Corey tidur? Apakah aku akan mengganggunya? Pikiran-pikiran berkelebat memenuhi otak tapi mulutku terkunci.
Tubuh Corey bergerak. Ia berbalik dan matanya terbuka. “Lah… sejak kapan lu di sini, Hel?” suara Corey agak serak.
Aku hanya tertawa kecil. “Belum lama, kok, hehe….”
Corey duduk kemudian meregangkan kedua tangannya. Bisa kulihat beberapa bekas suntikan di sana menusuk hatiku. Semua itu gara-gara aku. Dengan matanya yang tajam Corey menatapku. “Gue di sini udah dua bulan, Hel! Dua bulan!” katanya dengan suara meninggi. “Dan lu baru nengokin gue? Jahat banget lu jadi temen. Padahal gue begini gegara lu juga!”
Kalimat demi kalimat Corey menjelma jadi panah pasopati yang mendarat tepat di jantung. Sakit sekali rasanya sampai lututku gemetar dan terjatuh ke lantai. “Sorry, Core,” ucapku pelan. Rasanya sesak sekali sehingga tanganku mencengkram pinggiran ranjang dengan kuat agar aku bisa berdiri kembali.
“Ga usah berlutut juga, Hel. Bikin orang gak enak aja,” cibir Corey.