Kami muncul di jalur pendakian yang masih sepi, suasana sore mendung. Suara jangkrik bercampur sama desir angin yang bikin daun-daun pohon trembesi bergoyang. Suara tonggeret juga gak mau kalah saing.
Joel langsung buka peta lama, ngukur arah lewat kompas. Sharon sibuk ngeluh, “Kenapa gak misi ke Hawaii aja? Nyelam nyari turis hilang gitu. Kan asik.” Kemudian cewek itu mulai sibuk ngolesin obat anti nyamuk kemudian menyodorkannya padaku.
Sementara itu, Corey jalan paling depan, fokus nyari jejak. Aku mengikuti di belakang, pengen nyapa tapi sungkan. Chester malah sibuk—yap—nyodorin botol air padaku. Berasa punya porter pribadi.
“Minum dulu, Hel. Biar nggak dehidrasi,” katanya.
Sharon ngegas,“Ih Chester, lu kok bisa buka franchise Aqua di setiap misi sih?!”
“Tau!!! Gak kasihan sama anak Ghaza, apa?” cibir Corey. Matanya masih sibuk nyari jejak di pepohonan.
Joel tiba-tiba berhenti. “Ssst! Denger….”
Dari kejauhan, kedengaran suara samar orang minta tolong. Suaranya serak, kayak ketutup kabut.
“Itu… suara orang?” tanyaku setengah berbisik.
Muka Corey jelas tegang. “Atau sesuatu yang lain.”
Kami saling pandang. Atmosfer langsung berubah mencekam. Kabut makin tebal, dan kompas Joel mulai muter nggak karuan.
Kami berjalan makin dalam ke jalur hutan, kabut semakin pekat. Di sela-sela semak, Joel tiba-tiba nyetop langkahnya. “...ada sesuatu.”
Kami berjalan mendekat, dan saat itu aku menjerit kecil. Tergeletak di tanah seorang pendaki muda, bajunya sobek-sobek, tubuhnya penuh luka gigitan dan koyakan. Wajahnya hampir tak bisa dikenali.
“YA TUHAN—!!!” Sharon langsung histeris, mundur sambil menutup mulut.
Napasku tersengal, rasanya darahku turun ke kaki semua. Chester sigap, langsung menarikku ke dadanya, nutupin mataku biar nggak lihat lebih banyak. “Jangan lihat, Hel… cukup gue aja yang lihat.”
Sharon buru-buru sembunyi di belakang Joel, sambil gemetar. “Ini gila… kita beneran mode sintas.”
Corey yang paling berani, jongkok mendekat. Dia periksa luka-luka itu, wajahnya dingin tapi matanya tegang. “Bukan jatuh. Bukan kecelakaan. Ini koyakan hewan besar… tapi… aneh.” Dia ambil radio dari tasnya, suaranya pelan tapi tegas. “Di titik koordinat 5°54′S, 106°44′E. Kami menemukan satu survivor… negatif. Kondisi tubuh hancur.”
Hening beberapa detik. Radio hanya menjawab dengan suara kresek-kresek kabur.
Joel mendesis, “Sial. Sinyalnya ketarik kabut.”
Corey mengangguk pada kami semua sebagai tanda harus lanjut jalan, tapi makin jauh, kabut makin tebal. Kompas berputar liar, GPS error. Jalur pendakian nggak jelas lagi, pepohonan seakan bergeser.
Sharon makin panik. “Gue udah ga kuat. Ini gunung sumpah hidup, Hel! Kita dibawa muter!”
Kugenggam lengan Sharon erat-erat, berusaha menenangkan diri. Tiba-tiba… suara minta tolong terdengar lagi.
“Tolong… tolong saya….” Jelas, dekat sekali meski suaranya terdengar letih.
Sharon berbisik, “Itu suara… cewek.”