“Pak… Helen harus dikasih tahu,” suara ibu terdengar ketika aku baru saja pulang sekolah.
“Kasih tahu apa?” tanyaku nyelonong masuk dan membuat bapak sama ibu terkejut.
“Duduk sini, Hel,” kata bapak akhirnya.
“Abangmu masih suka nyuruh kamu pindah sekolah?” tanya bapak menatap mataku langsung.
Aku hanya mengangguk. Ibu pergi ke belakang meninggalkan kami berdua.
“Kamu tahu kalau abangmu itu sebenarnnya sekolah di Sintas juga?” tanya bapak lagi.
Aku jelas terkejut. Jadi, yang dibilang bang Hel itu benar kalau dia pernah sekolah di Sintas dan ingatannya dihapus. “Bukannya abang lulusan SMK Negeri 01?”
Bapak menarik napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya. “Helmy itu sekolah di sekolahmu juga. Dia antusias banget sekolah di sana karena sering naik gunung dan ke hutan. Tapi setelah ujian akhir, abangmu jadi selalu ketakutan. Dia bilang tidak sengaja meninggalkan temannya di sana. Temannya itu cedera parah sampai koma setahun. Abanggmu bolak-balik ke psikolog buat konsultasi keadaan mentalnya. Tapi tidak kunjung membaik dan pernah mencoba bunuh diri. Karenanya bapak dan ibu setuju ketika sekolah menawarkan solusi untuk menghilangkan ingatan Helmy.”
Aku hanya terdiam berusaha mencerna omongan bapak. “Jadi… bang Helmy punya trauma?” tanyaku akhirnya.
Bapak mengangguk. “Bapak dan ibu tidak ingin mengulangi kejadian yang sama. Kami tidak mau kamu mengalami hal seperti abangmu.”
“Maksudnya?” tanyaku seraya menebak kemana arah sebenarnya pembicaraan ini.
“Kalau kamu mau, kami akan memindahkanmu ke sekolah lain,” ucap bapak.
“Hah? Ini udah akhir tahun, Pak. Helen gak mau ngulang dan telat lulus,” tolakku halus. “Lagian apa yang terjadi sama bang Hel belum tentu akan terjadi juga sama aku.”
“Helen… kami tidak memaksa. Kamu pikirkan aja baik-baik, ya….” kata bapak mengakhiri perbincangan kami.
Aku merengut kemudian mengurung diri di dalam kamar seharian. Kenapa bapak baru cerita sekarang. Harusnnya sejak awal bang Hel pulang bapak cerita saja. Aku sudah berusaha sampai saat ini, tidak mungkin aku keluar begitu saja.
Kepalaku dipenuhi dengan berbagai macam hal. Mulai dari bang Hel, ujian akhir, sampai Corey dan Chester. Kemudian memoriku kembali memutar adegan Corey yang terjatuh ke dalam jurang. Jika dia mati waktu itu, bukankah aku tidak akan hidup tenang sekarang? Bukankah bang Hel sudah memperingatiku sejak awal?
***
Pagi ini kudapati Corey nyengir di teras rumah bareng bang Hel. Mereka ketawa-ketawa nyaring. Bahagia banget hidupnya. Kulewati mereka berdua tanpa mengeluarkan sepatah kata pun sampe mereka melihatku dengan ngeri dan bisik-bisik. Kuhela napas panjang dan membuka pagar. Tapi pagarnya berat banget tidak seperti biasanya. Kukerahkan tenaga lebih kuat tapi pagar ini cuma goyang-goyang berisik.
“Kuncinya masih nyangkut, Non!” seru bang Hel seraya membuka pengait pagar dan membukanya lebar. Pikiranku terlalu sibuk untuk memerintahkan mulut mengatakan apapun. Tapi sebelum aku melangkah lebih jauh lagi, bang Hel noel pundakku. “Lu bareng Corey aja. Abang ada urusan jadi gak bisa nganterin.”
Kemudian Corey datang dengan skuter matiknya yang rupanya diparkir di garasi. Aku bahkan tidak sadar kalo semalam dia nginap. Corey yang sudah mengenakan helm menaikkan dagunya menyuruhku naik.
“Lu sehat?” tanya Corey agak kenceng ketika kami sudah ada di jalan raya. Aku hanya mengangguk. “Mau beli sarapan dulu?” katanya lagi lebih keras. Aku menggeleng. Tapi dia membelokkan skuternya menuju gerobak bubur ayam di pertigaan.
“Nih, makan dulu!” Corey memberikan semangkok bubur ayam lengkap dengan sambelnya. Kemudian dia juga menikmati miliknya.
Aku tidak berminat untuk makan atau minum apapun, jadi bubur ayam itu hanya kulihat-lihat saja. Sambil liatin si pembunuh t-rex yang makan dengan lahap. Kayaknya bang Hel kelupaan ngasih makan nih anak.
“Itu bubur, bukan pajangan! Liatin aja terus ampe abangnya tutup,” ucap Corey yang udah mengembalikan mangkok buburnya ke si abang.
“Buat lu aja!” Kusodorkan mangkok ke Corey. Dia terima terus mulai ngaduk bubur dan nyendok lagi. Beneran, kan, enggak dikasih makan bang Hel.
“Buka mulutnya,” ucap Corey sembari mendekatkan sendok ke mulutku.
Kudorong tangannya pelan. “Gue lagi gak nafsu makan.”
“Kenapa, sih?” Corey menatapku lama sampai aku harus mengarahkan kepalanya ke arah lain dengan kedua tangan. “Hel….” Dia balik lagi menatapku.
Karena risih ditatap terus kayak buronan, akhirnya kurebut mangkok dari Corey dan memakan bubur itu dengan paksa.
“Nah, gitu… kan, enak,” ucap Corey seraya mengusap kepalaku.
***
Hari ini sekolah agak beda dari biasanya. Rasanya sedikit membuat mual seperti rumah sakit. Apalagi ketika Mr. Matt mengumumkan kalau ujian akhir akan dipercepat menjadi minggu depan. Kepalaku sangat berat sekali rasanya sampai aku tidak kuat berdiri dan dilarikan ke UKS.
“Kalau ada masalah cerita, dong, Hel. Jangan bikin orang panik.” Suara yang kudengar pertama kali adalah Corey. Kulihat dia sedang duduk di samping ranjang sementara dr. John sedang mencari obat di rak. Kemudian dr. John mengulurkan tangan memberiku obat, tapi dari baunya aku curiga kalau ini cuma vitamin.