Keadaan Chester akhirnya lebih baik setelah kami rawat bersama-sama. Aku duduk di sampingnya, sementara Corey mengecek luka-luka kecil yang masih tersisa. Riri memetik beberapa tanaman obat yang bisa dijadikan sebagai antibiotik alami serta pereda panas dari hutan. Sharon bawa perban, kapas dan alkohol di tas ranselnya. Jadi, keadaan Chester gak perlu terlalu dikhawatirkan lagi. Joel dan Riri sibuk membersihkan umbi yang baru mereka temukan, sedangkan Sharon dan Billy menyalakan api kecil untuk masak.
Saat suasana mulai agak lega, tiba-tiba seorang pria tua muncul bersama seorang anak kecil yang kurus kering. Bajunya compang-camping, wajah mereka penuh debu, dan sorot matanya minta belas kasihan.
Riri langsung menoleh ke yang lain. Aku menelan ludah, lalu menyodorkan sepotong umbi yang sudah matang. Corey hanya menghela napas, mengangguk, dan ikut memberikan beberapa buah. Pria tua itu berkali-kali membungkuk berterima kasih sebelum pergi.
Namun, keesokan paginya, pria itu datang lagi—kali ini tidak sendiri. Ada tiga orang dewasa lain bersamanya. Mereka pun diberi makanan lagi, meski Joel mulai terlihat resah. “Kita gak bisa terus begini, stok makanan bakal abis,” gumamnya.
Billy setuju dengan Joel. “Sebaiknya kalau besok datang lagi bilang aja kita udah gak punya makanan lagi,” usul Billy.
Sharon mengangguk. Dia menelan ubi bakarnya dengan sekali gerakan. “Gue setuju!”
“Kalau Chester udah baikan, kita segera pindah dari sini. Sebaiknya kita menghindari warlok,” ucap Corey. Dia menatap api dengan serius. “Tadinya gue mau kita ngungsi ke daerah Bogor. Di sana masih banyak kebon. Tapi ternyata bahaya. Gunung Salak erupsi.”
Joel telaten mencatat apa yang Corey bilang. “Selain itu, ternyata patahan Citarik membentuk sesar naik. Sepertinya itu akan membentuk gunung yang akan makin tinggi seiring dengan gempa susulan yang terjadi.” Joel menunjukkan peta yang telah digambarnya sendiri.
“Dengan kata lain, daerah aman dan kemungkinan masih memiliki cadangan terdekat dengan kita ada di daerah Halimun Salak, bagian barat. Banten juga, sih. Tapi kejauhan dari sini.” Corey menunjuk sebuah daerah di peta kemudian melingkarinya dengan arang.
“Tapi kalau kita berjalan kaki, butuh waktu sekitar dua hari ke Halimun Salak,” timpal Riri.
“Satu setengah hari jika kita berjalan cepat,” ucap Joel seraya melirik Chester.
“Gue bisa, kok,” kata Chester mendengus.
“Setidaknya paling cepat kita berangkat lusa. Chester harus benar-benar pulih agar tidak menjadi beban siapa pun.” Corey, si pembunuh t-rex dan sang cheat code sudah bicara. Tidak ada lagi yang bersuara. Aku akui kalo aura leader-nya itu kuat banget sampe Chester yang suka ribut terus dengannya saja bisa diam dan mengangguk doang kalau sepupunya itu lagi mode sintas.
“Oke. Besok kita istirahat untuk perjalanan panjang, guys….” Billy mematikan api unggun dan kami semua beristirahat di bawah langit malam yang berbanding terbalik dengan bumi tempat kami berpijak ini keadaannya.
***
Sharon sedang mengemasi beberapa helai kain ke dalam tasnya ketika ia melihat sekumpulan orang bergerak ke arah kami dari jauh. Sharon menepak bahuku. “Hel… lihat!”
“Core, arah jam tiga!” teriakku. Jumlah mereka cukup banyak untuk bisa mengeroyok kami.
Corey yang sedang sibuk membereskan tali menyipitkan mata. Kurasa perasaannya sama tidak enaknya denganku. “Buruan beresin secepatnya barang-barang kita!” perintah Corey.
Aku buru-buru menjejalkan beberapa obat-obatan yang tersisa. Tidak banyak jadi aku selesai duluan dan membantu Corey menggulungg tali.
“Itu, Hel. Deket kaki lu!” kata Corey menunjuk sebuah tali kusut dekat kakiku.
“Core… itu orang-orang yang kemarin,” ucap Joel yang baru saja kembali bersama Billy. “Kayaknya mereka bakal ngabisin makanan kita.”
“Kumpulin semua tas di deket puing yang jendelanya ungu!” Corey memberikan tas berisi tali padaku alih-alih pada Billy. Ck… padahal dia tahu kalau tas ini paling berat. Kuseret tas itu ke tempat yang Corey bilang.
Di luar dugaan, orang-orang itu jumlahnya makin banyak. Suara teriakan menggema dari kejauhan. Puluhan orang datang berlari, wajah mereka buas, mata hanya tertuju pada makanan. mereka terlihat seperti para pendemo anarkis yang hendak menggulingkan penguasa lalim.
“Makanan! Bagi makanannya!” teriak salah satu dari mereka. Diikuti yang lain. Mereka semakin dekat dan Corey menginstruksikan kami untuk berkumpul.
Tak sempat bicara, massa langsung mengobrak-abrik tempat yang sudah kami tata. Api unggun disepak, wadah pecah berantakan, dan makanan disambar begitu saja. Mereka benar-benar tidak terkendali. Bahkan sesama mereka masih berebut makanan dari yang lain.
“Lari!” seru Corey, menarikku yang masih terpaku melihat bagaimana manusia bisa begitu buas. Kami semua berlari berhamburan, mengambil tas yang telah disembunyikan dan terus menjauh.