Di antara batang-batang pohon tumbang, Corey dan Joel lagi sibuk nyusun rangka shelter dari ranting besar yang disangga dedaunan kering. Kami tiba di tujuan saat matahari sudah mulai condong ke barat. Chester, meski masih agak lemah, ikut bantu ngikat simpul dengan potongan kain. Billy dan Sharon baru balik bawa air dari sela-sela batang yang masih basah, sementara aku dan Riri datang dengan tangan penuh akar dan buah hutan.
Senang akhirnya kita gak perlu makan serangga lain. Meski sebenarnya mereka itu cukup enak dan bergizi, tapi ada rasa iba pas mau masuk mulut. Kalau dipikir manusia itu emang gak punya rasa perike-flora-an. Banyak yang kampanye vegan tapi gak ada kampanye jadi carnivora seutuhnya. Padahal tumbuhan juga makhluk hidup, kan?
“Core, mending kita bikin dua aja,” kataku sambil meletakkan temuan di tanah. “Cowok-cewek pisah.”
Corey yang lagi nyangga batang kayu, langsung noleh. “Cowok-cewek campur juga ga masalah. Malah hemat tenaga.”
“Nggak bisa. Bikin dua. Cewek sama cewek, cowok sama cowok. Lebih aman,” sahutku.
“Aman apanya? Kita hidup bareng-bareng tiap hari. Mau dipisah gitu aja? Rame-rame justru lebih aman, ga gampang diganggu.” Corey bersikeras. Dia nyimpen kayu, berdiri tegak menghadapku.
“Core, ini bukan soal rame atau nggak rame. Kita nggak tahu di hutan ini ada apa. Kalau satu shelter roboh atau kena serangan, yang lain masih ada tempat buat ngungsi.”
Corey mendengus. “Alasan! Lu emang parnoan aja. Gue nggak mau ribet bikin dua. Lagian, siapa juga yang mau gangguin kita? Hutan gersang gini mana ada yang betah.”
Aku langsung nunjuk jari ke tanah. “Justru karena gersang, kita jadi gampang keliatan. Satu shelter gede lebih kelihatan jelas. Kita kayak pasang papan neon bilang: ‘Hei, sini rame-rame serbu!’”
Corey maju selangkah, suaranya naik. “Daripada kita kepisah-pisah, terus ada yang sakit atau kenapa-kenapa malah ga ada yang tahu. Gue mending bareng-bareng aja. Simpel, selesai.”
Aku juga nggak kalah sengit. “Simpel itu nggak selalu aman!”
Joel, Riri, Billy, bahkan Chester yang duduk di tanah, cuma saling pandang. Riri bisik ke Joel, “Mereka debat begini terus ya, setiap kali mutusin sesuatu?” Suaranya masih kedengaran olehku.
Joel angkat bahu, senyum tipis. “Udah biasa. Tapi jujur aja, lebih seru dari biasanya.”
Sementara itu, Corey dan aku makin adu mulut tanpa ada yang mau ngalah.
Malam turun, udara lembab menusuk tulang. Di kejauhan terdengar suara ranting patah disusul lolongan aneh entah hewan apa. Api unggun kecil menyala redup di depan shelter yang baru jadi.
Sharon sempat nyeletuk sore tadi, “Berasa balik ke sekolah deh. Ribut kayak gitu lagi.” gara-gara lihat Corey dan aku adu mulut. Akhirnya kami sepakat voting—Corey menang tipis. Aku mendengus, tapi mau tak mau harus setuju. Lagian jelas aja para cowok yang menang. Jumlah mereka lebih banyak dari kami para cewek.
Giliran jaga malam, kami giliran. Joel dan Riri yang pertama, lalu Billy dan Chester. Harusnya Sharon sama Corey buat jaga dini hari, tapi Sharon mendadak demam. Aku langsung ambil alih.
Maka jadilah aku duduk bersandar di batang pohon rebah, api unggun memantulkan cahaya oranye menyilaukan. Corey duduk tak jauh, memegang batang kayu panjang buat jaga-jaga.
Hening agak lama, sampai akhirnya aku bicara pelan, “Kalau ada lu, mereka jadi tenang, ya. Padahal keadaan kita susah banget. Masih…” kuhitung jari-jari tangan, “tiga minggu lagi sampai waktu ujian selesai.”
Corey melirik ke arahku. “Emang lu ga tenang?”
Aku terdiam. Dalam hati bergumam getir, Boro-boro tenang, yang ada gue deg-degan terus tiap deket lu, tukang nyinyir.
Corey menunduk sebentar, lalu menatap api. “Gue malah ga tenang tiap deket lu, Hel.”
Aku langsung menoleh, kening berkerut. “Maksud lu? Emang gue nyeremin?”
Tanpa banyak kata, Corey meraih tanganku, menggenggamnya, lalu menempelkannya ke dada kirinya. Detak jantungnya kencang, nyaris tak beraturan.
Aku sontak salting, wajah panas banget meski udara dingin. Buru-buru berusaha kualihkan kecanggungan ini. “Bintangnya kelihatan ya. Bagus banget malam ini.”
Corey nggak goyah. Aku berusaha melepas tanganku dari genggamannya tapi dia malah mempereratnya. Tatapannya tetap padaku. Suaranya serak, tapi jelas. “Hel….”