SINTAS

Keita Puspa
Chapter #24

21. KAMPUNG YANG AMAN

Cahaya pagi menembus sela pepohonan kering, burung-burung kecil sudah terdengar riuh. Corey dan aku masih terkapar, wajah Corey pucat, bibir kering. Aku kayaknya gak beda jauh. Rasanya sulit banget buat gerakkin badan. Mataku juga agak burem dan berat. Mungkin ini yang orang-orang bilang sekarat. Tinggal nunggu malaikat maut jemput aja.

Kabar baiknya adalah kalau kami mati, gak akan ada orang sedih karena bang Hel bilang ingatan orang-orang bakal dihapus. Jadi, mungkin semacam kami gak pernah ada di sekolah itu.

Tiba-tiba suara-suara langkah mendekat. “Bu, di sini ada orang!”

Aku sempat tergagap bangun, panik. Apa itu malaikat maut? Aku atau Corey duluan? Kugerakkan badan tapi susah banget. Corey kayaknya belum sadar juga. Kalau itu malaikat maut gak apa-apa. Tapi kalau itu macan atau harimau, mereka bakal ngundang malaikat maut juga, sih. Ya, ampun! Udah berusaha sekuat tenaga tapi aku cuma berhasil gerakkin jari tangan doang.

Yang datang bukanlah sosok buas atau bar-bar. Mataku yang burem ini bisa mengidentifikasi kalau mereka adalah manusia. Mudah-mudahan bukan manusia kanibal yang bakal nunggu kami mati terus pesta barbekyu. Seenggaknya di sini masih bisa ditumbuhi tanaman jadi alternatif makanan mereka harusnya lebih luas. Kalo mereka cukup pintar. Overthinking di saat begini gak bantu, Helena!

Sekitar sepuluh orang warga lokal berdiri dengan tatapan khawatir ke arah kami. Perempuan paruh baya berkerudung sederhana berjongkok di samping kami. “Astaga… mereka kehausan. Cepat ambil air.”

Air sejuk menyentuh bibirku lebih dulu, rasanya kayak anugerah. Thanks God. Corey sempat batuk-batuk kecil sebelum bisa menelan. Kemudian kami dibawa ke perkampungan sederhana tapi hangat, rumah-rumah kayu dikelilingi ladang hijau yang kontras banget sama hutan berselimuut abu vulkanik yang baru saja kami lewati.

***

Aku duduk di tangga rumah panggung milik Pak Bumi. Masih gak percaya kalau udah ditolong sama warga lokal. Kupikir semua warga lokal itu nyeremin kayak orang-orang di kota. Yang kanibal lah, serakah lah. Warga kampung sini jelas banget ramah-ramah dan polos kayak warga kampung pada umumnya tahun 90-an ke bawah. Ramah, gotong royong, suka bantu orang.

"Neng... bisa bantuin ibu gak?" Kulirik Bu Dian, istrinya Pak Bumi yang lagi bawa dua tampah kacang koro yang belum dikupas. Bu Dian duduk di teras rumah dan mulai menguliti kacang.

Buru-buru kuhampiri Bu Dian dan mulai mengupas kacangg juga. "Ini baru panen, Bu?" tanyaku heran. Di saat dunia tidak produktif, bisa-bisanya warga sini panen.

"Iya... baru kemarin Pak Bumi petikin. Lumayan, kan, buat stok protein nabati," jawab Bu Dian. Wanita itu tampak bersahaja dengan baju terusan panjang hijau polos. Wajahnya teduh, memancarkan aura keibuan. Cara bicaranya halus, khas mojang priangan.

"Kok, kampung ini kayak gak terpengaruh sama bencana dahsyat se-Jawa, Bu?" tanyaku lagi. Tanganku sedikit lengket terkena getah kacang koro.

"Kata siapa? Itu... lahan di sebelah timur amblas. Banyak warga terluka dan beberapa meninggal dunia." Bu Dian melihat ke kiri, di sana tampak beberapa bangunan yang sudah tidak utuh. "Beberapa orang kehilangan tempat tinggal."

"Tapi dari semua tempat yang pernah saya kunjungi, tempat ini paling aman, Bu. Terutama soal pangan. Di tempat lain makanan udah langka," ceritaku.

Bu Dian tersenyum. "Itu karena kami sudah swasembada pangan sejak sepuluh tahun lalu. Setiap rumah di sini punya kebun kecil dan juga memelihara unggas buat makan sehari-hari."

Aku melirik sekitar dengan kagum. Memang setiap rumah di sini terlihat memiliki kandang dan juga kebun. "Terus... kalau kebon-kebon yang luas itu?" tanyaku lagi.

"Lu cerewet banget, Hel!" Corey datang barengan beberapa warga yang habis blusukan ke kebun mencari jamur. Dia menyenggolku sebelum meletakkan beberapa wadah jamur. "Maaf, ya, Bu. Temen saya yang ini memang cerewet."

Kupelototi Corey sebelum kembali menatap kacang koro yang masih tersisa.

Lihat selengkapnya