SINTAS

Keita Puspa
Chapter #25

22. SINGKONG

Beberapa hari kemudian, setelah tubuh kami mulai pulih, aku dan Corey pamit. “Kami harus cari teman-teman yang lain,” kata Corey. Kami emang sepakat buat pergi dan nyari yang lain.

Bu Dian menggenggam tanganku hangat. “Kalau kalian tersesat lagi, atau butuh tempat singgah… datanglah ke sini kapan saja. Anggap ini rumah sendiri.”

Aku tersenyum lebar dengan mata berbinar. “Makasih banyak, Bu.” kemudian memeluk Bu Dian.

Kami berdua melangkah keluar desa, dadah-dadah dengan para bocil yang kemarin kami ajak main kucing-kucingan sampai capek. Perut kenyang, hati hangat, dan ada semacam rasa… bahwa dunia ternyata ga sepenuhnya keras. 

Di luar sana mungkin ada manusia yang putus asa dan terpaksa jadi kanibal untuk bertahan hidup. Sementara yang lain memaksa untuk dibantu dan melakukan vandalisme. Itu juga untuk bertahan hidup. Tapi ternyata ada juga yang bertahan hidup setelah mempertimbangkan segala macam hal buruk yang akan terjadi tanpa kehilangan kemanusiaan. Dan yang terakhir itu berhasil sintas bukan hanya secara fisik tetapi juga secara psikis.

“Kenapa lu bengong?” tanya Corey membuatku sadar kalo perjalanan kami terus berlanjut. “Nyesel lanjut bareng gue?”

Kulihat baik-baik wajah Corey yang seperti ngambek. Jarang banget kulihat muka ngeselinnya jadi begitu. Aku memang bisa aja terus di kampung itu bareng Bu Dian sama warga yang lain sampai ujian selesai. Itu semacam cheat code. Auto lulus. Tapi dari Bu Dian dan Pak Bumi aku belajar untuk tetap saling membantu sesama manusia. Jadi, rasanya duduk tenang sementara yang lain masih berjuang untuk sintas rasanya akan menyebabkan kegelisahan.

“Gue gak bilang gitu, ya!” ucapku. “Kita udah diberi kesempatan buat melanjutkan tugas ini jadi kenapa harus berhenti?”

“Tugas kita cuma satu, Hel… bertahan hidup. Sintas. Selama kita hidup sampai akhir hari ketiga puluh, kita lulus,” jelas Corey. “Lu gak takut apa kalo nanti malah mati beneran?”

“Enggak. Kan ada lu yang jagain gue,” ucapku sengaja menggodanya.

“Gue juga kemarin hampir mati, Hel. Lu mending tinggal di kampung sama Bu Dian dan Pak Bumi. Lebih aman.”

Si anj*r, dia malah serius. “Gak asik, lu!” Kutinggalkan Corey dengan muka bingungnya di belakang.


 Pak Bumi sempat ngasih peta ke Corey kemarin sebelum kami pergi dari kampung. Makanya sekarang kami berjalan ga terlalu jauh dari sungai biar bisa ngambil air dengan mudah. Kemarin, kan, kami sekarat karena dehidrasi parah.

Setelah mendirikan tenda, aku duduk di depan api unggun sambil menikmati singkong bakar. Corey masih sibuk bebenah dalam tenda. Tapi gak lama dia keluar terus duduk sampingku.

“Punya gue mana?” tanya Corey seraya mengulurkan tangan.

Aku bengong sedetik. “Lu… belum makan?” tanyaku polos.

“Lu habisin?” Corey melotot.

Aku ketawa kaku. Kemudian kusodorkan beberapa ubi ungu yang masih mentah padanya. “Makan ini aja, ya,” bujukku.

“Tega emang lu, Hel!” Corey merebut ubi dengan kasar. “Itu singkong terakhir sengaja gue makan terakhir, tahu? Lu tahu kan, kalo gue paling doyan singkong?”

Sorry... gue kira lu udah makan, Ree. Beneran...," kataku menyesal.

“Gak usah sok akrab sama gue!” Corey membuang muka. Ngambek.

“Iya, deh, Core. Gue minta maaf,” ucapku kemudian meninggalkannya yang terus ngomel menuju tenda yang kami dapat dari Bu Dian.


Esoknya Corey masih ngambek gegara singkongnya kuhabiskan. Pagi-pagi aku bangun sebelum Corey bangun duluan. Iseng aku berkeliling agak jauh. Menurut peta, sekitar sini ada kebun warga ke arah tenggara. Berbekal kompas aku ke sana. Berharap ada yang nanam singkong.

Setelah sekitar satu jam jalan, memang ada kebun-kebun yang udah gak teruurus. Sedikit dilapisi abu dan banyak gulma dimana-mana. Kayaknya para penduduk ngungsi karena erupsi gunung. Hanya saja kebanyakan itu kebun sayuran. Ada sawi hijau yang berbunga kuning cantik dan batangnya sudah gede dan keras banget. Lumayan bunganya buat disayur. Pak Bumi, kan, juga bekelin kami bumbu dapur sedikit. Ada juga beberapa jagung dan timun. Kukarungin semuanya kemudian lanjut nyari singkong.

Sampai karung penuh, aku tidak menemukan tumbuhan berdaun menjari itu. Langka bener. Akhirnya karena matahari sudah di atas kepala kuputuskan untuk pulang. Tak disangka aku menemukan sebaris pohon singkong. Dengan segala cara, dari mulai menggali, mencungkil sampai menariknya, kucabut singkong itu. Tapi masih ga berhasil.

Tiba-tiba titik air berjatuhan dari langit. Hujan. Kayaknya Tuhan lagi baik, nih. Kalau tanahnya basah jadi lebih mudah untuk mencabut singkong. Dengan terpaksa kukeluarkan beberapa sayuran sampai singkong ini muat ke dalamnya.

Hujannya makin deras, air mulai menembus jaket yang kupakai karena emang bukan anti air. Sesekali terdengar suara guntur yang cukup keras. Dengan pepohonan yang tinggi, ngeri juga kalau kesamber petir nyasar. Sambil mengunyah timun karena laper, aku terus berjalan gusur karung saking beratnya.

Aku sempat nyasar beberapa kali sebelum akhirnya sampai ke tenda meski matahari udah terbenam dan hujan udah berhenti. Tapi bukan Corey yang ada di sana. Aku malah menemukan Sharon duduk di depan tenda sambil meluk lutut. Lalu tendanya jadi ada dua. Biru, yang kubangun bersama Corey, dan pink.

Sharon berteriak dan berlari memelukku begitu dia melihatku. “Lu darimana aja, Hel?” tanyanya. Terus dia melirik karung yang kubawa.

Lihat selengkapnya