SINTAS

Keita Puspa
Chapter #27

24. LULUS

"Hel... lagi ngapain lu?" Bang Hel yang masih pake seragam SMA menghampiriku. Jelas banget dari badge-nya kalo dia sekolah di Sintas.

"Gue lagi liatin bunga ini, Bang!" Kutunjuk sebuah gambar bunga yang ada di kalender. "Aneh, ya?"

"Oh... itu bunga abadi. Dia gak bakal layu selama bertahun-tahun," ucap bang Hel. "Meski benntuknya gak seindah mawar atau anggrek tapi dia punya kelebihan itu."

"Oooh...." Kutatap bunga putih yang seolah berbulu itu takjub.

"Dia juga dilindungi, Hel. Jadi gak bakal dipetik sembarangan sama orang." Bang Hel kemudian berdiri dan ngambil minuman dingin di kulkas terus balik lagi.

"Bang... kok, lu sekolahnya jarang pulang, sih?" tanyaku yang baru ingett kalo bang Hel udah seminggu gak balik ke rumah.

"Lagi ada tugas," jawabnya singkat.

"Lu nginep di sekolah gitu?"

"Enggak. Gue nginnep di..." bang Hel berbisik padaku, "... di gunung everest, Nepal."

"Gila! Gak mungkin banget." Dipikirnya aku bocah ingusan yang ggampang ketipu.

"Beneran, Hel...." Bang Hel mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Mataku membelalak gak percaya. Kurebut benda itu dari bang Hel kemudian kubandingkan dengan yang ada di kalender. "Beneran edelweis! Kok bisa?" tanyaku penasaran.

"Bisa lah... di sekolah gue apapun bisa terjadi. Naik gunung, jjelajah hutan, nyelam ke pasifik. Pokoknya seru banget tahu sekolah di Sintas. Kita diajarin hal-hal yang berguna untuk masa depan. Hal dasar untuk bertahan hidup di alam liar," cerita bang Hel menggebu.

"Iya? Gue juga mau sekolah di sana, ah!" seruku kemudian melirik bang Hel yang lagi nyengir.

"Nah... lu juga pasti suka, Hel. Daripada sekolah biasa yang cuma jejelin rumus sama teori doang, mending sekolah Sintas aja. Langsung praktek." Setelah bilang begitu bang Hel pergi ke kamarnya buat ganti baju.

Aku cuma diam menatap edelweis yang bang Hel kasih. Dalam hati bertekad buat masuk ke sekolah itu juga. Pasti rasanya enak jelajah alam langsung daripada lewat buku. Bisa sering mendaki gunung dan pastinya berkemah.

Ketika aku hendak pergi ke dapur untuk merengek pada ibu agar sekolah di tempat bang Hel juga, sebuah cahaya berkelebat di pintu dapur. Ketika aku memasukinya, di sana ada bang Hel yang lagi nangis, meringkuk di pojokan sambil pegang silet dengan tangan yang udah berdarah-darah. Aku menjerit histeris. Bapak dan Ibu datang dan langsung menghubungi ambulans.

"Abang kenapa, Bu?" tanyaku pada ibu. TTapi ibu cuma diam aja sampai seorang pria yang kukenal sebagai dr. John datang.

"Ibu... Bapak... Helmy mengalami depresi yang cukup parah. Untuung saja masih bisa kami selamatkan." dr. John memegangi stetoskopnya erat.

"Tapi terakhir dia di rumah gak apa-apa, dokter. Kenapa tiba-tiba anak saya seperti itu?" tanya bapak heran.

"Salah seorang teman Helmy terluka parah di tugas akhir. Helmy merasa bersalah karena udah meninggalkan temannya itu sendirian. Padahal itu jelas bukan salahnya. Anak itu sekarang koma karena dia salah mengenali tumbuhan dan keracunan. Tapi...." dr. John merapikan jas. "Karena Helmy sudah separah ini, sebaiknya kita menghilangkan ingatannya, Pak, Bu. Jika dibiarkan kami khawatir kalau Helmy tidak akan kuat."

Ibu memandang bapak kemudian memandangku. Setelahnya bapak mengangguk dan kami digiring ke sebuah ruangan. Hal terakhir yang kuingat adalah kilasan cahaya yang menyilaukan.

***

“Helena,” Miss Molly menatapku di ruangannya. Setelah medical check up selesai, aku langsung disuruh menghadap tante Corey ini. Kalau mau bahas soal kejadian memalukan kemarin aku pasrah saja. Lebih baik diam biar cepat selesai. “Kamu dapat nilai paling tinggi bersama Corey.”

“He?” ucapku takut salah dengar. Aku masih teringat denggan mimpi semalam. Tidak, itu bukan mimpi. Itu seperti potongan memori yang kembali.

Miss Molly tertawa singkat. “Selamat!” katanya sambil menyalamiku. “Kalian berdua sudah menyadari kalau dunia yang berantakan kemarin itu adalah masa depan yang akan kita hadapi. Jadi, kami harap kalian juga bersiap-siap.” Miss Molly menyerahkan sebuah map coklat padaku. “Ini bekal dari saya. Semoga bermanfaat,” katanya.

Fiuh… lega banget rasanya. Kukira bakal diceramahi karena wajah Miss Molly kemarin sangat menyeramkan. Sesampainya di rumah, kubuka amplop coklat dari Miss Molly. Isinya beberapa data seperti peta lempeng bumi, lengkap dengan keterangan patahan atau lipatan. Ada data soal persebaran tanaman dan hewan. Juga data persebaran penduduk hingga perkiraannya beberapa puluh tahun mendatang.

“Lu lagi sibuk?” tanya bang Hel yang tiba-tiba aja nongol di daun pintu.

“Enggak,” jawabku kemudian merapikan kembali kertas-lertas ke dalam amplop. “Ada apa?”

“Gue mau minta maaf Hel karena udah maksa lu pindah sekolah terus.” Bang Hel duduk di tepi ranjang dan mulai cerita kalau sebenarnya waktu itu cuma ingat setengah-setengah. “Sekarang gue ingat semuanya, Hel. Sintas tuh bukan sekolah kejam. Mereka cuma mau mempersiapkan….”

“Masa depan?” potongku membuat bang Hel menutup mulut dan mengangguk.

“Sekarang… gue harap lu gak usah takut lagi dan bisa menjalankan tugas akhir dengan tenang.” Bang Hel mengelus bahuku pelan.

“Telat!” seruku. “Gue udah lulus dari kemarin.”

Bang Hel bengong sebentar. “Yang bener lu?” Aku mengangguk mengiyakan. “Kok, Nia gak cerita sama gue?”

Lihat selengkapnya